Murderer: Film Thriller Aaron Kwok Yang Nanggung Abis
Selasa, 28 Juli 2009
Selasa, Juli 28, 2009
,
1 Comment
Label: Asia , Film 2009 , Misteri , Review , Thriller
Label: Asia , Film 2009 , Misteri , Review , Thriller
Dalam film ini, Aaron Kwok berperan sebagai seorang kepala inspektur kepolisian berumur 40 tahunan bernama Ling. Dia begitu dihormati di kesatuannya karena telah berhasil memecahkan beberapa kasus yang rumit, memiliki catatan kerja yang sempurna, dan segera akan dipromosikan untuk menjabat posisi yang lebih tinggi. Setiap orang melihat masa depan yang begitu cemerlang didepan Ling dan menjagokannya untuk menjabat posisi tertinggi di satuan kepolisian Hong Kong tersebut. Ling juga memiliki keluarga yang tidak kalah sempurna, seorang istri yang cantik dan setia, anak lelaki yang rupawan juga tentunya diiringi gaya hidup yang sangat menunjukkan kemapanannya.
Tapi pada suatu hari, kehidupannya yang terlihat begitu sempurna tiba-tiba berubah haluan menjadi kacau balau ketika dirinya ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah lokasi kejadian kriminal. Disana juga ada rekan kerjanya yang terluka sangat parah. Ketika Ling terbangun di rumah sakit, dia tidak mampu mengingat apapun yang terjadi pada saat dirinya diserang, yang diketahui oleh para rekannya adalah Ling dan partnernya saat itu sedang mengejar seorang pembunuh berantai yang menjadi incaran mereka sejak lama. Pembunuh ini menghabisi korbannya dengan menggunakan alat bor listrik, seperti yang telihat pada rekan Ling yang terluka, tubuhnya dipenuhi lubang2 mengerikan akibat alat tersebut.
Setelah diusut, semua bukti2 dari lokasi justru memberatkan posisi Ling yang langsung dijadikan tersangka utama. Para saksi mata mengklaim bila mereka tidak melihat siapapun memasuki blok apartemen dimana dua polisi itu diserang selain mereka berdua saja. Dua kejadian pembunuhan sebelumnya juga terjadi ditempat yang tidak jauh dari kediaman Ling dan pada saat dirinya libur kerja. Ling malah tidak bisa memberikan alibi yang kuat tentang dimana dia berada sesungguhnya pada saat kejadian itu berlangsung. Selain istrinya Hazel dan anak angkatnya Sonny, hanya rekan sesama detektif yang memiliki nama julukan Ghost yang masih mempercayai bila Ling tidak bersalah. Sedangkan semua orang yang tadinya begitu mendukung Ling berbalik menudingnya sebagai seorang penjahat yang paling busuk, media juga menyebarkan berita yang semakin memberatkannya dan membahayakan kesempatan promosinya.
Sama seperti alur cerita yang tadinya menunjukkan kehidupan Ling yang begitu menjanjikan dan akhirnya berubah menjadi sangat tidak menentu, begitulah kira2 perasaan yang timbul saat kita menyaksikan film “Murderer” ini. Style yang ditunjukkan pada bagian2 awal film terkesan agak kasar dan agresif, tapi irama yang rada kurang mulus itu tampaknya bisa termaafkan dengan cerita yang sepertinya dibangun menuju suatu plot yang menarik dan menjanjikan hal2 yang membangkitkan tensi ketegangan. Sutradara debutan Roy Chow (sebelumnya dikenal sebagai asistennya Ang Lee) menunjukkan kalau dia memiliki bakat dalam menyajikan adegan2 horor dan mengaduk isi perut lewat beberapa scene film ini. Tetapi, setelah ‘set-up’ yang sudah cukup baik dan penuh intrik tadi, sepertinya Roy sulit memutuskan kemana dia akan membawa kelanjutan cerita film ini. Banyak adegan flashback dan penampilan ulang peristiwa2 penting karena sang sutradara berusaha meyakinkan diri bila penonton tidak melewatkan satu hal penting sekalipun. Terdapat juga beberapa pertunjukan tanggung ketika karakter2 dalam film ini berulang kali dihentikan dari apa yang sedang mereka lalukan sekedar untuk memberikan kesempatan bagi pembahasan setiap hal yang berhubungan dengan cerita latar.
Penampilan Aaron Kwok yang dulu dikenal sebagai bintang manis idola remaja yang sekarang menjelma menjadi aktor watak itu juga bukanlah penampilan terbaiknya. Masih kalah jauh bila dibandingkan dengan performanya di “After This Our Exile” yang memenangkannya piala Golden Horse Award sebagai aktor terbaik, malah juga belum bisa menyaingi penampilannya di “The Detective.” Disini Kwok menyajikan performa ‘over PD’ yang justru berkembang menjadi sesuatu yang kurang menarik atensi penonton. Aktor2 lainnya yang tampil dalam film ini juga tidak bisa berbuat banyak dengan skrip yang membatasi ruang gerak mereka, hanya bisa memberikan akting yang standar2 saja.
Menuju penghujung film, penonton disuguhkan ‘twist ending’ layaknya film2 karya M. Night Shyamalan yang tampaknya adalah hal yang menggugah pihak Cineplex 21 untuk mengimpor film ini ke Indonesia. Twist yang ditampilkan disini cukup lumayan memang, cukup absurd dan menggelikan hingga harus disaksikan dengan mata kepala sendiri untuk bisa mempercayainya. So, bagi penggemar film dengan adegan berdarah2, mungkin film ini bisa menghibur anda tapi jangan harapkan sebuah film yang cukup kuat walau sebagai perbandingan untuk karya sekelas “Saw” sekalipun.
Tapi pada suatu hari, kehidupannya yang terlihat begitu sempurna tiba-tiba berubah haluan menjadi kacau balau ketika dirinya ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah lokasi kejadian kriminal. Disana juga ada rekan kerjanya yang terluka sangat parah. Ketika Ling terbangun di rumah sakit, dia tidak mampu mengingat apapun yang terjadi pada saat dirinya diserang, yang diketahui oleh para rekannya adalah Ling dan partnernya saat itu sedang mengejar seorang pembunuh berantai yang menjadi incaran mereka sejak lama. Pembunuh ini menghabisi korbannya dengan menggunakan alat bor listrik, seperti yang telihat pada rekan Ling yang terluka, tubuhnya dipenuhi lubang2 mengerikan akibat alat tersebut.
Setelah diusut, semua bukti2 dari lokasi justru memberatkan posisi Ling yang langsung dijadikan tersangka utama. Para saksi mata mengklaim bila mereka tidak melihat siapapun memasuki blok apartemen dimana dua polisi itu diserang selain mereka berdua saja. Dua kejadian pembunuhan sebelumnya juga terjadi ditempat yang tidak jauh dari kediaman Ling dan pada saat dirinya libur kerja. Ling malah tidak bisa memberikan alibi yang kuat tentang dimana dia berada sesungguhnya pada saat kejadian itu berlangsung. Selain istrinya Hazel dan anak angkatnya Sonny, hanya rekan sesama detektif yang memiliki nama julukan Ghost yang masih mempercayai bila Ling tidak bersalah. Sedangkan semua orang yang tadinya begitu mendukung Ling berbalik menudingnya sebagai seorang penjahat yang paling busuk, media juga menyebarkan berita yang semakin memberatkannya dan membahayakan kesempatan promosinya.
Sama seperti alur cerita yang tadinya menunjukkan kehidupan Ling yang begitu menjanjikan dan akhirnya berubah menjadi sangat tidak menentu, begitulah kira2 perasaan yang timbul saat kita menyaksikan film “Murderer” ini. Style yang ditunjukkan pada bagian2 awal film terkesan agak kasar dan agresif, tapi irama yang rada kurang mulus itu tampaknya bisa termaafkan dengan cerita yang sepertinya dibangun menuju suatu plot yang menarik dan menjanjikan hal2 yang membangkitkan tensi ketegangan. Sutradara debutan Roy Chow (sebelumnya dikenal sebagai asistennya Ang Lee) menunjukkan kalau dia memiliki bakat dalam menyajikan adegan2 horor dan mengaduk isi perut lewat beberapa scene film ini. Tetapi, setelah ‘set-up’ yang sudah cukup baik dan penuh intrik tadi, sepertinya Roy sulit memutuskan kemana dia akan membawa kelanjutan cerita film ini. Banyak adegan flashback dan penampilan ulang peristiwa2 penting karena sang sutradara berusaha meyakinkan diri bila penonton tidak melewatkan satu hal penting sekalipun. Terdapat juga beberapa pertunjukan tanggung ketika karakter2 dalam film ini berulang kali dihentikan dari apa yang sedang mereka lalukan sekedar untuk memberikan kesempatan bagi pembahasan setiap hal yang berhubungan dengan cerita latar.
Penampilan Aaron Kwok yang dulu dikenal sebagai bintang manis idola remaja yang sekarang menjelma menjadi aktor watak itu juga bukanlah penampilan terbaiknya. Masih kalah jauh bila dibandingkan dengan performanya di “After This Our Exile” yang memenangkannya piala Golden Horse Award sebagai aktor terbaik, malah juga belum bisa menyaingi penampilannya di “The Detective.” Disini Kwok menyajikan performa ‘over PD’ yang justru berkembang menjadi sesuatu yang kurang menarik atensi penonton. Aktor2 lainnya yang tampil dalam film ini juga tidak bisa berbuat banyak dengan skrip yang membatasi ruang gerak mereka, hanya bisa memberikan akting yang standar2 saja.
Menuju penghujung film, penonton disuguhkan ‘twist ending’ layaknya film2 karya M. Night Shyamalan yang tampaknya adalah hal yang menggugah pihak Cineplex 21 untuk mengimpor film ini ke Indonesia. Twist yang ditampilkan disini cukup lumayan memang, cukup absurd dan menggelikan hingga harus disaksikan dengan mata kepala sendiri untuk bisa mempercayainya. So, bagi penggemar film dengan adegan berdarah2, mungkin film ini bisa menghibur anda tapi jangan harapkan sebuah film yang cukup kuat walau sebagai perbandingan untuk karya sekelas “Saw” sekalipun.