The Echo: Menunggu Kelanjutan Gaung Horor Asia di Hollywood

Ketika kekeringan ide itu menjadi alasan bagi pelaku bisnis film di Hollywood untuk melakukan penjiplakan atas buah pikiran sineas dari Asia, maka hadirlah yang namanya film2 remake horor Asia yang sempat membooming beberapa tahun lalu. Tapi sayangnya ide2 yang berpotensi itu dihadirkan dengan eksekusi yang kurang baik dan dihujat orang karena minimnya kualitas film2 tersebut bila dibandingkan dengan versi orisinalnya. Sangat ironis memang kalau mau membandingkan dari segi teknologi justru Hollywood bisa dibilang lebih maju dari perfilman Asia, tapi kenapa mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik pada film hasil remake mereka? Yang terlihat disini adalah teknologi itu bukanlah segalanya yang menjamin bagi sebuah karya film itu bisa bagus ataupun tidak, ada hal yang lebih penting lagi yaitu penyutradaraan, penceritaan, pengembangan karakter juga hal2 lainnya. “The Ring” dan “Grudge” yang merupakan hasil adaptasi dari horor hits Jepang itu mungkin bisa dibilang adalah yang paling berhasil menjaring penonton pada masanya, selepas itu seiring menurunnya kualitas produk diiringi juga oleh penurunan keinginan para penikmat film untuk mengkonsumsi film2 remake horor Asia itu. Sehingga saat ini mungkin udah jarang banget kita melihat munculnya karya2 sejenis, secara perfilman horor Asia sendiri juga semakin kekeringan ide.





Mengamati hal diatas, ada satu hal yang unik disini yaitu sebuah film remake horor Filipina berjudul “The Echo” yang hingga saat ini belum mendapatkan lampu hijau bagi penayangannya di bioskop2 Amerika, sementara filmnya sendiri sudah sejak lama siap ditayangkan bahkan sudah melanglang buana di berbagai festival internasional dan memperoleh pengakuan sebagai sebuah film remake yang bagus dan baik. Apakah ini karena imbas turunnya hasil penjualan film2 remake lainnya selama ini? Film ini justru digarap sendiri oleh sutradara aslinya Yam Laranas yang juga memulai debut penyutradaraanya di Hollywood, diangkat dari karya lawasnya yang berjudul “Sigaw” yang terlihat lebih berpotensi dibandingkan sekian banyak horor dari perfilman Filipina. Film “The Echo” sendiri yang mengambil setting di Amerika dan dibintangi oleh barisan bintang Hollywood ini justru akan dimulai penayangannya di bioskop2 Korea Selatan dalam waktu dekat ini, hal yang cukup aneh memang, tapi semoga film ini juga bakal segera merambah jaringan 21 di tanah air.

Cerita dalam “Sigaw” film aslinya sendiri kalau diperhatikan agak mirip dengan horor Jepang “Ju-on” alias “The Grudge”, dimana sama2 menampilkan kisah balas dendam roh penasaran yang meninggal gara2 KDRT. Hanya bedanya, si roh halus disitu ga seperti Kayako dan anaknya yang membunuh semua orang yang pernah mengusik tempat tinggal mereka tanpa pandang bulu. Cerita dalam “The Echo” ini juga tetap mengambil dasar yang sama dengan “Sigaw,” dimana cerita berfokus pada sesosok pria muda bernama Bobby (dibintangi Jesse Bradford) yang baru dibebaskan secara bersyarat dari hukuman penjara selama tiga tahun karena kasus pembunuhan yang tidak disengaja. Setelah menghirup udara bebas, hal pertama yang dilakukan oleh Bobby adalah kembali ke apartemen dimana ibunya dulu pernah bermukim untuk tinggal disana. Sang ibu sendiri telah menghembuskan nafas terakhirnya ketika Bobby sedang menjalani hukumannya dalam penjara. Apartemen itu masih penuh dengan peninggalan ibunya, masih menyisakan tanda2 yang menunjukkan gangguan kejiwaan yang dialaminya hingga saat ajal menjemputnya. Bobby tidak begitu susah mendapatkan pekerjaan kembali, dia diterima sebagai mekanik oleh Hector (Carlos Leon), meskipun hanya pekerjaan paruh waktu saja. Selain keluar untuk bekerja, Bobby hanya menghabiskan waktunya dengan mengurung diri di apartemennya, terisolasi dari dunia luar. Tidak ada teman2nya yang mengunjungi selain mantannya Alyssa (Amelia Warner), yang juga menunjukkan sikap canggung dan hati2 padanya. Masalah yang harus dihadapi Bobby di apartemen itu datang dari tetangganya sendiri, keributan2 yang terjadi setiap malam oleh Walter (Kevin Durand) yang selalu melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada istrinya (Iza Calzado), mengakibatkan jam tidur Bobby terganggu. Tapi apa yang bisa dilakukannya karena Bobby hanyalah seorang mantan napi sementara Walter adalah seorang aparat kepolisian.
Ketika pasutri tetangganya itu tidak bertengkar, Bobby juga selalu terganggu oleh suara2 aneh dari balik dinding apertemennya hampir di setiap malam. Suara2 itu berupa bisikan, benturan, bahkan hentakan kaki di lantai yang sangat memusingkan dan membuatnya penasaran dengan sang pembuat kegaduhan. Sementara dia sedang berusaha menjalani kehidupan yang normal kembali, tetapi hal2 disekitarnya malah menghalang2ngi keinginannya itu. Bobby berusaha menyelidiki hal2 yang terjadi menjelang hari2 terakhir ibunya, dan semakin banyak yang ia ketahui semakin sering dia mengalami dan melihat hal2 yang sama yang dihadapi ibunya sehingga mengunci diri dalam apartemen selama berminggu2. Sekarang Bobby harus mengambil keputusan apakah dia tetap harus mengalami siksaan batin itu atau berusaha mencari tahu apa sebenarnya dibalik suara2 misterius itu, dan apakah tetangganya benar2 mempunyai peranan dibalik segalanya.

Ada hal yang membedakan cerita dalam versi Hollywood ini dengan aslinya yaitu pada karakter Bobby. Disini diceritakan Bobby memiliki sejarah kriminalitas, juga kematian sang ibu dan memburuknya hubungannya dengan sang kekasih. Sementara dalam versi Filipina “Sigaw,” Bobby adalah seorang pria biasa yang berusaha hidup mandiri dengan menyewa dan tinggal dalam sebuah apartemen sendiri. Keputusan sang sutradara untuk merombak latar belakang sang tokoh utama disini bisa dibilang cukup efektif, karena bisa menambah tingkat kompleksitas cerita dan dari segi penokohan juga bisa lebih menimbulkan rasa simpati penonton pada sang tokoh. Bagi penggemar horor yang berdarah2 dan bertempo cepat mungkin bakal merasa sedikit bosan dengan alur film ini, karena seperti gaya horor Jepang atau Eropa, film ini mengandalkan pembangunan karakter dan atmosfir untuk mencapai klimaks mengejutkan pada akhirnya. Tapi bagi penggemar horor seperti “The Ring”, “Sixth Sense” ataupun “The Other” pasti bakal sangat menyukai “The Echo.” Dan film ini kembali membuktikan bila sebuah remake bisa dibuat secara serius dengan mengefektifkan cerita dan penokohan dengan baik, maka hasilnya jelas bisa tampil setara bahkan lebih baik dari versi orisinalnya. (J-C)

0 Response to "The Echo: Menunggu Kelanjutan Gaung Horor Asia di Hollywood"

Posting Komentar

SILAHKAN BERIKAN KOMENTAR ANDA... JANGAN RAGU RAGU DAN MALU MALU, KAMI SIAP MENAMPUNG UNEG UNEG ANDA TENTANG POSTINGAN MAUPUN TAMPILAN BLOG KAMI... SEBELUM DAN SESUDAHNYA KAMI UCAPKAN THANK YOU SO MUCH..!

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme