Merantau: Bangkitnya Film Seni Bela Diri Khas Indonesia
Jumat, 07 Agustus 2009
Jumat, Agustus 07, 2009
,
5 Comments
Label: Action , Etnik , Film 2009 , Indonesia , Review
Label: Action , Etnik , Film 2009 , Indonesia , Review
Cerita dalam film “Merantau” diawali oleh drama kekeluargaan dimana ada seorang pemuda Minang bernama Yuda (Iko Uwais) yang akan segera meninggalkan kampung halamannya untuk melaksanakan tradisi perantauan. Yuda melangkah dengan berat hati karena harus meninggalkan sang ibunda tercinta (Christine Hakim), kakaknya Yayan (Donny Alamsyah) dan kembang desa yang ditaksirnya demi mengadu nasib di ibukota. Yuda sendiri adalah pemuda yang sangat menguasai ilmu bela diri peninggalan leluhurnya yaitu silat Harimau, dan itu juga yang nantinya akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi perjalanannya. Didalam sebuah bus menuju Jakarta, Yuda bertemu dengan seorang pemuda lainnya bernama Eric (Yayan Ruhian) yang belum apa2 sudah membagikan pesan2 pesimis tentang susahnya mewujudkan mimpi di Jakarta. “Kamu mengingatkan saya pada diri saya 15 tahun yang lalu. Penuh semangat dan impian menaklukkan dunia. Tapi hidup di Jakarta tidak mudah. Sekarang saya bahkan kerja apa saja di Jakarta,” kata Eric.
Meskipun kata2 itu belum menyurutkan semangatnya, tapi sesampainya di Jakarta, Yuda mulai dihadapi oleh berbagai kejadian yang mencobai keteguhan hatinya. Rumah yang ditujunya ternyata sedang direnovasi, dan nomor telepon si pemilik rumah pun tak bisa dihubungi sama sekali. Walhasil, Yuda pun harus luntang-lantung tak karuan karena tidak ada sanak saudara yang bisa didatangi. Dalam kebingungannya, tanpa sengaja Yuda bertemu dengan kakak beradik yatim piatu bernama Astri (Sisca Jessica) dan Adit (Yusuf Aulia). Kekerasan hidup di Jakarta kembali tergambar dari dua sosok ini, Astri adalah seorang penari disebuah kelab malam dengan bayaran yang kurang memadai juga bos yang keji. Adiknya Adit, kerjaaannya sehari hari adalah menjadi pengamen jalanan dan kadang juga mencopet demi sesuap nasi. Kesulitan hidup ini menjadikan sosok Astri seseorang yang suka bersikap sinis tetapi disisi lain dia sangat menyayangi adiknya dan rela mengorbankan nyawa sekalipun demi keselamatan Adit.
Pertemuan Yuda sendiri dengan mereka berdua ternyata semakin menyeret pemuda ini untuk masuk pada permasalahan2 yang kian pelik. Astri yang menjadi incaran sebuah organisasi perdagangan manusia dari Eropa pada satu hari menyebabkan terjadi bentrokan antara Yuda dengan bandit2 yang sedang mengejarnya. Yuda yang selalu memegang teguh prinsip2 kebenaran tidak bisa untuk tidak menolong Astri dan adiknya, dan mulai membantu mereka dengan berbagai upaya demi melepaskan diri dari penjahat2 tersebut.
Layaknya masuk ke sebuah restoran dimana kita memesan sebuah menu khas Indonesia sedangkan yang yang meraciknya adalah seorang koki bule, tentunya kita akan menikmati satu sajian yang sangat pas dengan lidah kita tapi juga memiliki cita rasa internasional. Begitulah sedikit banyak hal yang bisa digambarkan saat menyaksikan film “Merantau” ini. Sutradara film ini adalah Gareth Evans, sineas asal Inggris yang juga menjadi pencetus ide untuk membuat film yang sangat mengangkat budaya lokal ini. Mengangkat langsung sebuah tradisi merantau yang sangat terkenal dari masyarakat Sumatra Barat khususnya Minangkabau, juga aksi pencak silat Harimau yang menjadi bela diri khas dari daerah tersebut, film aksi satu ini benar2 berangkat dari sebuah gagasan yang sangat membumi. Gareth yang juga terlibat dalam penulisan skenarionya terlihat sangat menghargai budaya asli Indonesia ini dan ikut memasukkan pesan2 moral tentang kasih sayang dan kehangatan antar anggota keluarga. Awal film menjadi sarana bagi Gareth untuk menghadirkan kehangatan tersebut yang diwakili oleh keluarga Yuda, diiringi pula oleh lanskap daerah Minang yang begitu indahnya. Namun 20 menit pertama itu juga seakan dipersiapkan Gareth sebagai perbandingan bagi scene2 selanjutnya yang mengambarkan kekerasan hidup di Jakarta.
Film yang berdurasi dua jam lebih juga berhasil mewujudkan kolaborasi yang cukup baik antara aksi bela diri berani dan memukau, drama yang menjadi peredamnya, tata visual nan artistik dan tentunya musik latar yang pas dalam ikut membangkitkan adrenalin para penonton. Empat unsur yang disebutkan diatas tadilah yang menjadi kekuatan utama film “Merantau” ini. Masing2 saling melengkapi dalam menyajikan sebuah tontonan film aksi bela diri khas Indonesia yang udah sangat jarang kita saksikan di layar perbioskopan kita.Adegan2 dramatis juga dihadirkan semakin tajam lewat sorotan piñata kamera Matt Flanery yang menggunakan kamera HD, dimana kamera tersebut sanggup menghadirkan tampilan gambar tajam dan terang yang tentunya sangat mendukung kemunculan berbagai adegan dramatis dan artistik di film ini. Musik yang juga menjadi kekuatan tadi ditata oleh Aria prayogi dan Fajar Yuskemal, mereka menciptakan irama2 yang cukup pas bagi setiap adegan dan sadar tidak sadar ikut membangkitkan setiap emosi yang dirasakan penonton.
Yang satu lagi dan sangat tidak kalah pentingnya adalah penataan laga. “Merantau” tidak menyajikan tampilan pencak silat yang hanya diwarnai oleh aksi kuda2an ataupun tari2an seperti film2 aksi jaman baheula. Tetapi disini lewat bimbingan ahli silat veteran Edwel Datuk Rajo Gampo Alam, kemunculan pencak silat itu menjadi hal baru yang begitu memukau dalam layar. Atlet pencak silat nasional Iko Uwais juga menyajikannya begitu cepat, mantap, luwes, dan eksotik namun mematikan, tidak kalah dari seni Kungfunya Jet Li maupun Muay Thay-nya Tony Jaa yang terkenal lewat film “Ong Bak” itu. Pokoknya benar2 membuat film ini wajib tonton bagi penggemar film aksi di Indonesia
Di sisi kekurangannya, film ini masih memunculkan beberapa adegan klise dari berbagai film aksi dan tradisi Minang tadi yang seakan hanya dijadikan pemanasan saja di babak2 awal. Tetapi kekurangan2 tersebut menurut gue masih bisa diredam oleh berbagai hal lain yang lebih menghibur dalam film ini. So, jangan sampe ketinggalan untuk nonton “Merantau” di bioskop2 terdekat, karena ini adalah salah satu film paling menghibur di Indonesia untuk tahun 2009 ini.
Meskipun kata2 itu belum menyurutkan semangatnya, tapi sesampainya di Jakarta, Yuda mulai dihadapi oleh berbagai kejadian yang mencobai keteguhan hatinya. Rumah yang ditujunya ternyata sedang direnovasi, dan nomor telepon si pemilik rumah pun tak bisa dihubungi sama sekali. Walhasil, Yuda pun harus luntang-lantung tak karuan karena tidak ada sanak saudara yang bisa didatangi. Dalam kebingungannya, tanpa sengaja Yuda bertemu dengan kakak beradik yatim piatu bernama Astri (Sisca Jessica) dan Adit (Yusuf Aulia). Kekerasan hidup di Jakarta kembali tergambar dari dua sosok ini, Astri adalah seorang penari disebuah kelab malam dengan bayaran yang kurang memadai juga bos yang keji. Adiknya Adit, kerjaaannya sehari hari adalah menjadi pengamen jalanan dan kadang juga mencopet demi sesuap nasi. Kesulitan hidup ini menjadikan sosok Astri seseorang yang suka bersikap sinis tetapi disisi lain dia sangat menyayangi adiknya dan rela mengorbankan nyawa sekalipun demi keselamatan Adit.
Pertemuan Yuda sendiri dengan mereka berdua ternyata semakin menyeret pemuda ini untuk masuk pada permasalahan2 yang kian pelik. Astri yang menjadi incaran sebuah organisasi perdagangan manusia dari Eropa pada satu hari menyebabkan terjadi bentrokan antara Yuda dengan bandit2 yang sedang mengejarnya. Yuda yang selalu memegang teguh prinsip2 kebenaran tidak bisa untuk tidak menolong Astri dan adiknya, dan mulai membantu mereka dengan berbagai upaya demi melepaskan diri dari penjahat2 tersebut.
Layaknya masuk ke sebuah restoran dimana kita memesan sebuah menu khas Indonesia sedangkan yang yang meraciknya adalah seorang koki bule, tentunya kita akan menikmati satu sajian yang sangat pas dengan lidah kita tapi juga memiliki cita rasa internasional. Begitulah sedikit banyak hal yang bisa digambarkan saat menyaksikan film “Merantau” ini. Sutradara film ini adalah Gareth Evans, sineas asal Inggris yang juga menjadi pencetus ide untuk membuat film yang sangat mengangkat budaya lokal ini. Mengangkat langsung sebuah tradisi merantau yang sangat terkenal dari masyarakat Sumatra Barat khususnya Minangkabau, juga aksi pencak silat Harimau yang menjadi bela diri khas dari daerah tersebut, film aksi satu ini benar2 berangkat dari sebuah gagasan yang sangat membumi. Gareth yang juga terlibat dalam penulisan skenarionya terlihat sangat menghargai budaya asli Indonesia ini dan ikut memasukkan pesan2 moral tentang kasih sayang dan kehangatan antar anggota keluarga. Awal film menjadi sarana bagi Gareth untuk menghadirkan kehangatan tersebut yang diwakili oleh keluarga Yuda, diiringi pula oleh lanskap daerah Minang yang begitu indahnya. Namun 20 menit pertama itu juga seakan dipersiapkan Gareth sebagai perbandingan bagi scene2 selanjutnya yang mengambarkan kekerasan hidup di Jakarta.
Film yang berdurasi dua jam lebih juga berhasil mewujudkan kolaborasi yang cukup baik antara aksi bela diri berani dan memukau, drama yang menjadi peredamnya, tata visual nan artistik dan tentunya musik latar yang pas dalam ikut membangkitkan adrenalin para penonton. Empat unsur yang disebutkan diatas tadilah yang menjadi kekuatan utama film “Merantau” ini. Masing2 saling melengkapi dalam menyajikan sebuah tontonan film aksi bela diri khas Indonesia yang udah sangat jarang kita saksikan di layar perbioskopan kita.Adegan2 dramatis juga dihadirkan semakin tajam lewat sorotan piñata kamera Matt Flanery yang menggunakan kamera HD, dimana kamera tersebut sanggup menghadirkan tampilan gambar tajam dan terang yang tentunya sangat mendukung kemunculan berbagai adegan dramatis dan artistik di film ini. Musik yang juga menjadi kekuatan tadi ditata oleh Aria prayogi dan Fajar Yuskemal, mereka menciptakan irama2 yang cukup pas bagi setiap adegan dan sadar tidak sadar ikut membangkitkan setiap emosi yang dirasakan penonton.
Yang satu lagi dan sangat tidak kalah pentingnya adalah penataan laga. “Merantau” tidak menyajikan tampilan pencak silat yang hanya diwarnai oleh aksi kuda2an ataupun tari2an seperti film2 aksi jaman baheula. Tetapi disini lewat bimbingan ahli silat veteran Edwel Datuk Rajo Gampo Alam, kemunculan pencak silat itu menjadi hal baru yang begitu memukau dalam layar. Atlet pencak silat nasional Iko Uwais juga menyajikannya begitu cepat, mantap, luwes, dan eksotik namun mematikan, tidak kalah dari seni Kungfunya Jet Li maupun Muay Thay-nya Tony Jaa yang terkenal lewat film “Ong Bak” itu. Pokoknya benar2 membuat film ini wajib tonton bagi penggemar film aksi di Indonesia
Di sisi kekurangannya, film ini masih memunculkan beberapa adegan klise dari berbagai film aksi dan tradisi Minang tadi yang seakan hanya dijadikan pemanasan saja di babak2 awal. Tetapi kekurangan2 tersebut menurut gue masih bisa diredam oleh berbagai hal lain yang lebih menghibur dalam film ini. So, jangan sampe ketinggalan untuk nonton “Merantau” di bioskop2 terdekat, karena ini adalah salah satu film paling menghibur di Indonesia untuk tahun 2009 ini.
Iko Uwais punya teknik berantem yang ga kalah sama Jet Li. Gerakan-gerakannya enak dilihat dan bikin kita percaya bahwa itu bisa membunuh layaknya gerakan dalam film-film Jet Li. I love you, Iko Uwais!
tapi kok lagi2 bule ya yang mau buat film seperti ini. sineas kita masih berkutat dari film islami, pocong, kalau gak film saru...
sungguh disayangkan.
kita butuh lebih banyak sutradara dan produser idealis yang gak cuma liat pasar.
tunjukkan kalau film seperti ini juga bisa laku...
ayo nonton baramai ramai!
Selain gua suka dengan filmnya, gua juga suka poster yg satu ini, mengingatkan gua dengan poster film Prancis
Filmnya manteb abis! Satu2nya film Indonesia yang buat gw nonton kedua kalinya di Bioskop!
@NAFRAD:
Tapi di poster itu Iko ga terlalu gondrong kayak di film dan keliatan lebih kecil badannya. Hihi..
inilah film Indonesia pertama yang gua tonton di bioskop setelah era Warkop dulu.
Film aksi Indonesia sudah berada di jalur yg benar. Iko Uwais tinggal diasah aja aktingnya. Uda punya modal yang lumayan tuh.