Kantata Takwa : film dari abad lalu
Selasa, 07 Oktober 2008
Selasa, Oktober 07, 2008
,
0 Comments
Label: Etnik , Film , Historikal , Indonesia , Musikal
Label: Etnik , Film , Historikal , Indonesia , Musikal
Masih ingat dengan konser Iwan Fals bersama grup bandnya Kantata Takwa manggung di Stadion Utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno di tahun 1990 ? Atau belum nonton karena belum lahir.
Nah, ada kabar buat penggemar Iwan Fals atau OI, Iwan Fals bersama grup bandnya Kantata Takwa bermain film. Loh bukannya Kantata Takwa sudah bubar ? Film ini sebenarnya sudah dibuat 18 tahun yang lalu. Film Kantata Takwa, sebuah karya yang diangkat dari keberhasilan konser kelompok musik tersebut di Stadion Utama Senayan Jakarta pada 1991. Inti cerita film semi dokumenter itu merupakan kesaksian para seniman Indonesia tentang masa represi Orde Baru yang sarat korupsi, nepotisme, aksi penculikan dan pembunuhan para aktivis yang berseberangan ideologi dengan pemerintah. "Para seniman itu termasuk saya, yang dulu harus keluar masuk penjara," kata WS Rendra.
Erros secara berkelakar mengatakan, "Karena idenya gila, ya saya pikir harus melibatkan orang-orang gila," katanya, seraya menyebut beberapa nama termasuk Setiawan Djody, Iwan Fals, Sawung Jabo, Gatot Prakosa, dan produser Abdurrahim yang disebutnya sebagai "Pakistan gila".
Berbeda dari film lain yang umumnya hanya menunggu 1-2 tahun sebelum diedarkan, Kantata Takwa sebenarnya sudah dibuat pada 18 tahun lalu. "Setelah jadi, film ini saya simpan di rumah," kata Gatot Prakosa.
Menurut Gatot, saat itu (masa ORBA) tidaklah dimungkinkan untuk mengedarkan film tersebut di bioskop. "Siapa yang berani?" katanya.
Menyambung ucapan rekannya, Erros mengatakan bahwa hal itu ada dampak positifnya. "Kalau dulu diedarkan, pastilah tidak jadi karena banyak sekali yang dipotong," katanya.
Berdurasi 72 menit, film Kantata Takwa menggambarkan kehidupan para seniman dan aktivis yang diburu aparat karena aksi-aksinya yang mengecam pemerintah lewat puisi, musik, dan lagu. Kecaman-kecaman itu diperlihatkan melalui beberapa lagu Kantata Takwa seperti Bongkar, Hati Nurani, dan Bento.
Film ini dibuat pada masa Soeharto berkuasa. Tentu karena sebuah workshop, yang di dalamnya ada WS Rendra, Iwan Fals, Sawung Jabo, Jocky Suryoprayogo, Eros Djarot, saya Gotot Prakosa, Slamet Rahardjo Djarot, Chalid Arifin (almarhum), Soetomo Gonodosoebrata (almarhum) jadinya ya cukup seru. Malah sempat saat mendokumentasikan show Kantata Takwa di Stadion Senayan tahun 1991, kami dibantu 30 kameramen. Hampir semua kameramen Indonesia berkumpul membantu, di antaranya Tantra Suryadi, Hary Simon, Bambang Supriyadi, Monod, Ray Supriyadi, Roy Lolang, Yadi Sugandi sampai Judy Datau juga ikut membantu.
“Sebetulnya film ini disyut tahun 1990 mulainya. Ini sudah 18 tahun. Sutradaranya sebenarnya hanya dua orang, saya dan Eros Djarot saja. Sementara Slamet sebagai supervisor karena saat itu fungsinya lebih ke supervisi. Film ini menggambarkan masa orde baru, jadi latar belakangnya tentang bagaimana penculikan manusia-manusia kreatif di Indonesia, dihilangkan dengan istilah penembakan misterius (Petrus), kemudian juga kasus-kasus banyak di Sumatera, Jawa Timur, juga di sekitar Jawa ada banyak pembunuhan dan penculikan, tokoh-tokoh kreatif yang hilang. Kemudian juga banyak ide-ide kreatif yang dibungkam waktu itu karena masa rezim orde baru. Kemudian kita para seniman dan pembuat film berkumpul awal 90-an, ada sastrawan seperti WS Rendra, musisi Sawung Jabo, Iwan Fals, Jockie Suryoprayogo, dan musisi sekaligus industrialis Setiawan Djodi, yang punya dana besar. Kita sudah shoot kira-kira sampai 1994, karena itu kan semacam pertunjukkan-pertunjukkan dan rekonstruksi dari kejadian-kejadian yang menakutkan pada masa itu, kemudian kita rekonstruksi dengan cara yang menurut kita sesuai pada masa itu.”, tutur Gatot Prakarsa sang Sutradara.
“Kita tidak berani menampilkan umpamanya tentang tentara, karena saat itu masih gawat. Saat itupun film kita tidak boleh dirilis karena mengkritik jaman itu pasti kita dihilangkan juga. Karena itu kita buat tentara itu dengan symbol-simbol seperti orang dengan masker. Kita simbolisasikan semuanya secara puitis, karena kebetulan pada masa itu kan WS Rendra juga sering dicekal dan masuk penjara juga. Kemudian Dia membuat pertunjukkan yang membuatnya masuk penjara selama beberapa tahun. Nah setelah keluar itu kita bikin acara ini Kantata Takwa. Bentuknya Pertunjukkan musik tapi sebetulnya ada teaternya, puisinya, tari, dan sebagainya.”, tambah Gatot Prakarsa.
Film Kantata Takwa memang lewat 18 tahun dari waktu rilis yang seharusnya. Film yang pasti memecahkan rekor dalam rentang waktu antara syuting hari pertama (Agustus 1990) dan pemutaran publik perdananya (April 2008) dan menggunakan 30 kamera sekaligus, akhirnya bisa bersentuhan juga dengan publik. Setelah tertunda sekian lama sampai terendam banjir segala, Singapore International Film Festival tahun ini mendapat kehormatan menjadi tempat world premiere film dengan banyak nama seniman besar Indonesia itu.Film ini sempat muncul di daftar film penting yang tak selesai; seakan sebuah janji bahwa sebuah gagasan luar biasa dicatat di dalamnya. Nama-nama besar (ketika itu dan mungkin sampai kini) ada di sana. Kredit penyutradaraan jatuh pada dua nama: Eros Djarot yang legendaris dengan Tjoet Njak Dhien dan musik Badai Pasti Berlalu, dan Gotot Prakosa sang pelopor animasi eksperimental negeri ini. Supervisi ada pada Slamet Rahardjo. Pendukungnya juga tak tanggung-tanggung. Cast-nya diisi dengan nama besar seperti Penyair Burung Merak Rendra, Sawung Jabo, pengusaha-cum-musisi Setiawan Djodi; dan tentu Iwan Fals sendiri. Scoring musik dipegang oleh Jockie Suryprayogo dan penata kamera ditangani oleh orang senior dalam film kita, seperti mendiang Soetomo Gandasubrata yang bisa dibilang melahirkan nyaris seluruh juru kamera yang aktif di perfilman Indonesia saat ini.
Uniknya kalo biasanya kita datang ke bioskop menonton yang namanya "film" itu sudah siap dengan sebuah konsep di kepala "Ceritanya apa, ya?". Tapi film "Kantata Taqwa" bagi yang sudah pernah nonton pertunjukan musik kolosal di abad lalu tentulah sudah siap mau menonton pertunjukan seni musik & lagu, bukan? Ditambah dengan pembacaan puisi-puisi Rendra, tentu saja! Tapi bagaimana halnya dengan kita generasi sekarang, yang tidak sempat nonton live-shownya di Senayan itu?
Generasi sekarang, menurut perkiraan saya, adalah generasi baru yang sudah siap untuk menikmati bahasa film ala video clip yang berisi lagu dan musik. Tapi memang, menikmatinya lewat pemutaran CD atau DVD di layar kaca, bukan di bioskop. Jadi, kalau saja generasi baru (generasi M-TV?) datang dengan kesiapan membaca film itu dalam bahasa video-clip seperti itu, maka mereka akan bisa menikmatinya.
Yang mungkin tergolong unik adalah pembacaan puisi Rendra yang biasanya hanyalah dibacakan dengan penampilan tunggalnya yang kesohor dan kharismatik itu, dalam film "Kantata Taqwa" kali ini juga ditampilkan dalam bahasa vide-clip yang memukau juga! Inilah yang boleh dikata baru, bahwa ada puisi yang ditampilkan dengan bahasa-filmis/media divideo-clipkan. (Mungkin ini untuk pertama kalinya di dunia, barangkali? olong dikporeksi kalau saya salah lho!)
Mungkin film ini tak akan banyak ditonton kecuali di lingkaran festival. Tak sepadan antara investasi yang pernah dibuatnya dengan capaian artistik, apalagi komersialnya; bahkan tak sepadan pula dengan pembicaraan tentangnya yang rasanya sepi-sepi saja. Para wartawan film pun bahkan tak tahu bahwa film ini akhirnya selesai dan ditayangkan perdana di Singapura.
Namun Kantata tetap mengingatkan bahwa seniman seperti Iwan Fals pernah nyaris se-revolusioner Che Guevara. ”Kepahlawanan” mereka sekarang ini mungkin lebih menarik jadi gimmick untuk menjual majalah atau menjadi komoditi sodoran ironi dan lelucon political-incorrect-ness. Kantata kini tetap mengajukan semacam perayaan kecil, bernama kebebasan seniman menyampaikan estetika yang mereka percaya. Klise memang. Tapi ketika para sineas sedang kasip berombongan untuk menjadi konformis dan konformitas sedang dipuja-puji, klise semacam ini, toh, rasanya relevan. Sebuah klise, karena terlalu pahamnya kita akan hal itu, memang kerap kita lupakan.(ix)
Sutradara: Eros Djarot dan Gotot Prakosa
Supervisi: Slamet Rahardjo Djarot
Cast: Iwan Fals, Rendra, Sawung Jabo, Clara Shinta, Setiawan Djody, Jocky Suryoprayogo dan Bengkel Teater Rendra
Nah, ada kabar buat penggemar Iwan Fals atau OI, Iwan Fals bersama grup bandnya Kantata Takwa bermain film. Loh bukannya Kantata Takwa sudah bubar ? Film ini sebenarnya sudah dibuat 18 tahun yang lalu. Film Kantata Takwa, sebuah karya yang diangkat dari keberhasilan konser kelompok musik tersebut di Stadion Utama Senayan Jakarta pada 1991. Inti cerita film semi dokumenter itu merupakan kesaksian para seniman Indonesia tentang masa represi Orde Baru yang sarat korupsi, nepotisme, aksi penculikan dan pembunuhan para aktivis yang berseberangan ideologi dengan pemerintah. "Para seniman itu termasuk saya, yang dulu harus keluar masuk penjara," kata WS Rendra.
Erros secara berkelakar mengatakan, "Karena idenya gila, ya saya pikir harus melibatkan orang-orang gila," katanya, seraya menyebut beberapa nama termasuk Setiawan Djody, Iwan Fals, Sawung Jabo, Gatot Prakosa, dan produser Abdurrahim yang disebutnya sebagai "Pakistan gila".
Berbeda dari film lain yang umumnya hanya menunggu 1-2 tahun sebelum diedarkan, Kantata Takwa sebenarnya sudah dibuat pada 18 tahun lalu. "Setelah jadi, film ini saya simpan di rumah," kata Gatot Prakosa.
Menurut Gatot, saat itu (masa ORBA) tidaklah dimungkinkan untuk mengedarkan film tersebut di bioskop. "Siapa yang berani?" katanya.
Menyambung ucapan rekannya, Erros mengatakan bahwa hal itu ada dampak positifnya. "Kalau dulu diedarkan, pastilah tidak jadi karena banyak sekali yang dipotong," katanya.
Berdurasi 72 menit, film Kantata Takwa menggambarkan kehidupan para seniman dan aktivis yang diburu aparat karena aksi-aksinya yang mengecam pemerintah lewat puisi, musik, dan lagu. Kecaman-kecaman itu diperlihatkan melalui beberapa lagu Kantata Takwa seperti Bongkar, Hati Nurani, dan Bento.
Film ini dibuat pada masa Soeharto berkuasa. Tentu karena sebuah workshop, yang di dalamnya ada WS Rendra, Iwan Fals, Sawung Jabo, Jocky Suryoprayogo, Eros Djarot, saya Gotot Prakosa, Slamet Rahardjo Djarot, Chalid Arifin (almarhum), Soetomo Gonodosoebrata (almarhum) jadinya ya cukup seru. Malah sempat saat mendokumentasikan show Kantata Takwa di Stadion Senayan tahun 1991, kami dibantu 30 kameramen. Hampir semua kameramen Indonesia berkumpul membantu, di antaranya Tantra Suryadi, Hary Simon, Bambang Supriyadi, Monod, Ray Supriyadi, Roy Lolang, Yadi Sugandi sampai Judy Datau juga ikut membantu.
“Sebetulnya film ini disyut tahun 1990 mulainya. Ini sudah 18 tahun. Sutradaranya sebenarnya hanya dua orang, saya dan Eros Djarot saja. Sementara Slamet sebagai supervisor karena saat itu fungsinya lebih ke supervisi. Film ini menggambarkan masa orde baru, jadi latar belakangnya tentang bagaimana penculikan manusia-manusia kreatif di Indonesia, dihilangkan dengan istilah penembakan misterius (Petrus), kemudian juga kasus-kasus banyak di Sumatera, Jawa Timur, juga di sekitar Jawa ada banyak pembunuhan dan penculikan, tokoh-tokoh kreatif yang hilang. Kemudian juga banyak ide-ide kreatif yang dibungkam waktu itu karena masa rezim orde baru. Kemudian kita para seniman dan pembuat film berkumpul awal 90-an, ada sastrawan seperti WS Rendra, musisi Sawung Jabo, Iwan Fals, Jockie Suryoprayogo, dan musisi sekaligus industrialis Setiawan Djodi, yang punya dana besar. Kita sudah shoot kira-kira sampai 1994, karena itu kan semacam pertunjukkan-pertunjukkan dan rekonstruksi dari kejadian-kejadian yang menakutkan pada masa itu, kemudian kita rekonstruksi dengan cara yang menurut kita sesuai pada masa itu.”, tutur Gatot Prakarsa sang Sutradara.
“Kita tidak berani menampilkan umpamanya tentang tentara, karena saat itu masih gawat. Saat itupun film kita tidak boleh dirilis karena mengkritik jaman itu pasti kita dihilangkan juga. Karena itu kita buat tentara itu dengan symbol-simbol seperti orang dengan masker. Kita simbolisasikan semuanya secara puitis, karena kebetulan pada masa itu kan WS Rendra juga sering dicekal dan masuk penjara juga. Kemudian Dia membuat pertunjukkan yang membuatnya masuk penjara selama beberapa tahun. Nah setelah keluar itu kita bikin acara ini Kantata Takwa. Bentuknya Pertunjukkan musik tapi sebetulnya ada teaternya, puisinya, tari, dan sebagainya.”, tambah Gatot Prakarsa.
Film Kantata Takwa memang lewat 18 tahun dari waktu rilis yang seharusnya. Film yang pasti memecahkan rekor dalam rentang waktu antara syuting hari pertama (Agustus 1990) dan pemutaran publik perdananya (April 2008) dan menggunakan 30 kamera sekaligus, akhirnya bisa bersentuhan juga dengan publik. Setelah tertunda sekian lama sampai terendam banjir segala, Singapore International Film Festival tahun ini mendapat kehormatan menjadi tempat world premiere film dengan banyak nama seniman besar Indonesia itu.Film ini sempat muncul di daftar film penting yang tak selesai; seakan sebuah janji bahwa sebuah gagasan luar biasa dicatat di dalamnya. Nama-nama besar (ketika itu dan mungkin sampai kini) ada di sana. Kredit penyutradaraan jatuh pada dua nama: Eros Djarot yang legendaris dengan Tjoet Njak Dhien dan musik Badai Pasti Berlalu, dan Gotot Prakosa sang pelopor animasi eksperimental negeri ini. Supervisi ada pada Slamet Rahardjo. Pendukungnya juga tak tanggung-tanggung. Cast-nya diisi dengan nama besar seperti Penyair Burung Merak Rendra, Sawung Jabo, pengusaha-cum-musisi Setiawan Djodi; dan tentu Iwan Fals sendiri. Scoring musik dipegang oleh Jockie Suryprayogo dan penata kamera ditangani oleh orang senior dalam film kita, seperti mendiang Soetomo Gandasubrata yang bisa dibilang melahirkan nyaris seluruh juru kamera yang aktif di perfilman Indonesia saat ini.
Uniknya kalo biasanya kita datang ke bioskop menonton yang namanya "film" itu sudah siap dengan sebuah konsep di kepala "Ceritanya apa, ya?". Tapi film "Kantata Taqwa" bagi yang sudah pernah nonton pertunjukan musik kolosal di abad lalu tentulah sudah siap mau menonton pertunjukan seni musik & lagu, bukan? Ditambah dengan pembacaan puisi-puisi Rendra, tentu saja! Tapi bagaimana halnya dengan kita generasi sekarang, yang tidak sempat nonton live-shownya di Senayan itu?
Generasi sekarang, menurut perkiraan saya, adalah generasi baru yang sudah siap untuk menikmati bahasa film ala video clip yang berisi lagu dan musik. Tapi memang, menikmatinya lewat pemutaran CD atau DVD di layar kaca, bukan di bioskop. Jadi, kalau saja generasi baru (generasi M-TV?) datang dengan kesiapan membaca film itu dalam bahasa video-clip seperti itu, maka mereka akan bisa menikmatinya.
Yang mungkin tergolong unik adalah pembacaan puisi Rendra yang biasanya hanyalah dibacakan dengan penampilan tunggalnya yang kesohor dan kharismatik itu, dalam film "Kantata Taqwa" kali ini juga ditampilkan dalam bahasa vide-clip yang memukau juga! Inilah yang boleh dikata baru, bahwa ada puisi yang ditampilkan dengan bahasa-filmis/media divideo-clipkan. (Mungkin ini untuk pertama kalinya di dunia, barangkali? olong dikporeksi kalau saya salah lho!)
Mungkin film ini tak akan banyak ditonton kecuali di lingkaran festival. Tak sepadan antara investasi yang pernah dibuatnya dengan capaian artistik, apalagi komersialnya; bahkan tak sepadan pula dengan pembicaraan tentangnya yang rasanya sepi-sepi saja. Para wartawan film pun bahkan tak tahu bahwa film ini akhirnya selesai dan ditayangkan perdana di Singapura.
Namun Kantata tetap mengingatkan bahwa seniman seperti Iwan Fals pernah nyaris se-revolusioner Che Guevara. ”Kepahlawanan” mereka sekarang ini mungkin lebih menarik jadi gimmick untuk menjual majalah atau menjadi komoditi sodoran ironi dan lelucon political-incorrect-ness. Kantata kini tetap mengajukan semacam perayaan kecil, bernama kebebasan seniman menyampaikan estetika yang mereka percaya. Klise memang. Tapi ketika para sineas sedang kasip berombongan untuk menjadi konformis dan konformitas sedang dipuja-puji, klise semacam ini, toh, rasanya relevan. Sebuah klise, karena terlalu pahamnya kita akan hal itu, memang kerap kita lupakan.(ix)
Sutradara: Eros Djarot dan Gotot Prakosa
Supervisi: Slamet Rahardjo Djarot
Cast: Iwan Fals, Rendra, Sawung Jabo, Clara Shinta, Setiawan Djody, Jocky Suryoprayogo dan Bengkel Teater Rendra
0 Response to "Kantata Takwa : film dari abad lalu"
Posting Komentar
SILAHKAN BERIKAN KOMENTAR ANDA... JANGAN RAGU RAGU DAN MALU MALU, KAMI SIAP MENAMPUNG UNEG UNEG ANDA TENTANG POSTINGAN MAUPUN TAMPILAN BLOG KAMI... SEBELUM DAN SESUDAHNYA KAMI UCAPKAN THANK YOU SO MUCH..!