Blood The Last Vampire: Vampir Lagi, Lagi Lagi Vampire
Minggu, 21 Juni 2009
Minggu, Juni 21, 2009
,
1 Comment
Label: Action , Film 2009 , Hollywood , Horror , Misteri , Review
Label: Action , Film 2009 , Hollywood , Horror , Misteri , Review
Jeon Ji-Hyun, aktris muda Korea yang kini dikenal dengan nama internasional Gianna Jun, dulu angkat nama saat memerankan karakter cewek super jutek dan sangar dalam drama komedi “My Sassy Girl”. Sekarang Gianna coba menjajal keberuntungannya di industri sinema Hollywood lewat film berjudul “Blood: The Last Vampire”. Karakter yang diperankannya disini pun berubah 360 derajat dari film2 yang pernah mengisi daftar perannya dahulu, bila sebelumnya Gianna lebih sering memerankan karakter cewek normal yang sehari2 kita temui di genre drama maupun komedi, sekarang dia harus menjajal peran yang mengharuskannya mempraktekkan ilmu bela diri, bermain pedang dan jumpalitan dalam membasmi vampir, monster, iblis dan berbagai makhluk halus lainnya. Tokohnya disini sebelumnya diperkenalkan dalam sebuah anime Jepang bernama Saya yang merupakan makhluk campuran antara vampir dan manusia. Tapi kalo dipikir2 apakah kita masih memerlukan karakter seperti ini di layar lebar? Secara sebelumnya juga sudah ada beberapa film yang menampilkan hal yang serupa, walaupun “Blood” disini sudah memiliki akar anime yang lumayan kuat.
Tapi bila memang hasilnya bagus, mungkin memang ga ada salahnya juga, toh tampaknya masih ada ruang bagi si pemburu vampir ini melakukan aksinya dalam pita seluloid, dan lumayan juga sebagai perbandingan dengan karakter yang berdekatan lainnya yaitu si pemburu vampire cowok Blade yang dulu diperankan oleh Wesley Snipes. Anyway, saat menyaksikan film “Blood: The Last Vampire”, gue berusaha untuk mencari faktor2 yang menjadi keunggulannya sendiri, namun tampaknya segi2 kelemahannya sendiri justru lebih tampil dengan prima, dan begitu mempesona hingga susah untuk dihindari.
Yang pertama adalah isyu pada karakter Saya yang diperankan Gianna, menjadi satu2nya pemburu vampir terkuat dalam cerita disini, secara klise tokohnya digambarkan sebagai pahlawan sempurna yang begitu mudahnya mengalahkan setiap musuh yang dihadapinya. Satu sabetan aja dari pedang katana-nya berarti kematian instan, cuma begitu aja, ga pake jurus apa2, dan ga ada tantangannya. Sangat jarang bahkan melihat Saya mengeluarkan keringat sekalipun (Well.. mungkin hujan lebat yang mengiringi pertempurannya juga bisa sedikit menyamarkan) saat menghabiskan sejumlah makhluk2 tanpa identitas yang terus menerus muncul. Jadi mungkin kamu udah tau apa yang bisa diharapkan sepanjang jalan cerita – sabet, tebas, sabet, tebas, cuci-bersih- sabet n tebas lagi.
Dasarnya dan dari sononya Gianna memang bukanlah aktris yang memiliki kemampuan bela diri yang memadai ibarat Michelle Yeoh ataukah Zhang Ziyi. Sutradara Chris Nahon yang menggarap film ini justru lebih mengandalkan editing cepat, adegan close up, permainan kamera juga slow motion disini dan disana untuk mengakali adegan aksi dalam film ini. Secara segi artistikal, mungkin hal itu bisa dipandang cukup menarik namun tetep aja bakal keliatan akal2annya dan lama2 juga bakalan menimbulkan rasa bosan. Gue rasa sendiri bila film ini masih punya banyak kekurangan dalam menampilkan adegan2 aksi yang sanggup menampilkan hal2 yang menegangkan apalagi baru. Meskipun begitu, adegan pertempuran pada babak akhirnya mungkin masih bisa dimaafkan ketika Saya mempertunjukkan sedikit kemampuan yang lebih potensial yang dimilikinya. Spesial efek yang dihadirkan pun bisa dibilang cukup standar dan agak mengecewakan. Adegan pengejaran diatas atap khas film kung fu juga jadi terkesan seperti menonton film kartun. Musuh2 yang dihadirkan pun sama sekali ga ada artinya sebelum pimpinan iblis Onigen muncul di penghujung pertempuran, tapi lagi2 kesan klise itupun muncul dari sosok musuh bebuyutan Saya ini, aroganisme khas antagonis dibanyak film2 aksi lainnya itu benar2 cuma buat ngulur waktu ato buang waktu aja. Toh sehebat apapun dia, tetep aja akhirnya kejahatan bakalan kalah sama yang namanya kebaikan, tul kan?
Jadinya secara garis besar mungkin disini adalah kurang adanya sesuatu yang inovatif, sesuatu yang bisa menjadi nilai tambah bagi penonton yang masih kurang familiar dengan bahan dasar dari film ini yaitu anime tadi. So, buat kamu yang pengen nonton film aksi dan hanya mau ngeliat aksinya aja dan ga peduli dengan plot yang seringan wafer ataupun mengharapkan adegan yang tampil dihadapan kamu sebenarnya bisa dihadirkan lebih baik lagi, mungkin film “Blood: The Last Vampire” ini bisa menjadi tontonan pengisi weekend yang lumayan menghibur. Setidaknya sosok Gianna Jun yang imut bisa jadi penghias layar yang manis buat diemut pikiran. (J-C)
Tapi bila memang hasilnya bagus, mungkin memang ga ada salahnya juga, toh tampaknya masih ada ruang bagi si pemburu vampir ini melakukan aksinya dalam pita seluloid, dan lumayan juga sebagai perbandingan dengan karakter yang berdekatan lainnya yaitu si pemburu vampire cowok Blade yang dulu diperankan oleh Wesley Snipes. Anyway, saat menyaksikan film “Blood: The Last Vampire”, gue berusaha untuk mencari faktor2 yang menjadi keunggulannya sendiri, namun tampaknya segi2 kelemahannya sendiri justru lebih tampil dengan prima, dan begitu mempesona hingga susah untuk dihindari.
Yang pertama adalah isyu pada karakter Saya yang diperankan Gianna, menjadi satu2nya pemburu vampir terkuat dalam cerita disini, secara klise tokohnya digambarkan sebagai pahlawan sempurna yang begitu mudahnya mengalahkan setiap musuh yang dihadapinya. Satu sabetan aja dari pedang katana-nya berarti kematian instan, cuma begitu aja, ga pake jurus apa2, dan ga ada tantangannya. Sangat jarang bahkan melihat Saya mengeluarkan keringat sekalipun (Well.. mungkin hujan lebat yang mengiringi pertempurannya juga bisa sedikit menyamarkan) saat menghabiskan sejumlah makhluk2 tanpa identitas yang terus menerus muncul. Jadi mungkin kamu udah tau apa yang bisa diharapkan sepanjang jalan cerita – sabet, tebas, sabet, tebas, cuci-bersih- sabet n tebas lagi.
Dasarnya dan dari sononya Gianna memang bukanlah aktris yang memiliki kemampuan bela diri yang memadai ibarat Michelle Yeoh ataukah Zhang Ziyi. Sutradara Chris Nahon yang menggarap film ini justru lebih mengandalkan editing cepat, adegan close up, permainan kamera juga slow motion disini dan disana untuk mengakali adegan aksi dalam film ini. Secara segi artistikal, mungkin hal itu bisa dipandang cukup menarik namun tetep aja bakal keliatan akal2annya dan lama2 juga bakalan menimbulkan rasa bosan. Gue rasa sendiri bila film ini masih punya banyak kekurangan dalam menampilkan adegan2 aksi yang sanggup menampilkan hal2 yang menegangkan apalagi baru. Meskipun begitu, adegan pertempuran pada babak akhirnya mungkin masih bisa dimaafkan ketika Saya mempertunjukkan sedikit kemampuan yang lebih potensial yang dimilikinya. Spesial efek yang dihadirkan pun bisa dibilang cukup standar dan agak mengecewakan. Adegan pengejaran diatas atap khas film kung fu juga jadi terkesan seperti menonton film kartun. Musuh2 yang dihadirkan pun sama sekali ga ada artinya sebelum pimpinan iblis Onigen muncul di penghujung pertempuran, tapi lagi2 kesan klise itupun muncul dari sosok musuh bebuyutan Saya ini, aroganisme khas antagonis dibanyak film2 aksi lainnya itu benar2 cuma buat ngulur waktu ato buang waktu aja. Toh sehebat apapun dia, tetep aja akhirnya kejahatan bakalan kalah sama yang namanya kebaikan, tul kan?
Jadinya secara garis besar mungkin disini adalah kurang adanya sesuatu yang inovatif, sesuatu yang bisa menjadi nilai tambah bagi penonton yang masih kurang familiar dengan bahan dasar dari film ini yaitu anime tadi. So, buat kamu yang pengen nonton film aksi dan hanya mau ngeliat aksinya aja dan ga peduli dengan plot yang seringan wafer ataupun mengharapkan adegan yang tampil dihadapan kamu sebenarnya bisa dihadirkan lebih baik lagi, mungkin film “Blood: The Last Vampire” ini bisa menjadi tontonan pengisi weekend yang lumayan menghibur. Setidaknya sosok Gianna Jun yang imut bisa jadi penghias layar yang manis buat diemut pikiran. (J-C)
baru mau nonton. bnyk yang bilang mengecewakan sih emang. cm kok kayaknya jeon jihyun kok agak gak pantes ya pake baju sailor pelajar jepang. dia emang cakep, tapi kayaknya kurang pas jadi peran anak sekolah.