Lost in Papua : Film Berlatar Tanah Papua Selatan Karya Putra Papua
Selasa, 08 Maret 2011
Selasa, Maret 08, 2011
,
2 Comments
Label: Adventure , Etnik , Fauzi Badillah , Film 2011 , Indonesia
Label: Adventure , Etnik , Fauzi Badillah , Film 2011 , Indonesia
Ditengah menghilangnya film – film Hollywood, muncullah film “Lost in Papua”. Seperti film yang disutradari oleh John de Rantau yang berjudul "Denias, Senandung di Atas Awan" yang mengangkat kekayaan alam dan budaya di Papua, film ini khususnya mengambil di daerah Papua Selatan. Kalau film "Denias" menceritakan tentang perjuangan seorang anak suku pedalaman Papua yang bernama Denias untuk mendapatkan pendidikan yang layak, film ini coba meluruskan pandangan orang tentang kanibalisme suku Korowai dengan jalan cerita pencarian orang seperti film "Pencarian Terakhir" . Di film Lost In Papua, dilukiskan bahwa suku Korowai tidak seperti apa yang di gambarkan kanibal seperti selama ini. Justru suku korowai adalah suku yang cinta damai dan layak menjadi ikon budaya di Papua Selatan. Semua latar belakang yang tergambar di film ini memang realitas berdasarkan kisah yang benar - benar ada di Papua Selatan dan bukan mengada-ngada sekalipun sudah diramu dalam kemasan cerita komersil dengan tokoh - tokoh fiktif.
Salah satu dalam film “Lost in Papua” adalah ajakan untuk lebih menghargai alam dan tidak merusak kehidupan di dalamnya. Ini sekaligus merupakan sindiran bagi eksploitasi tambang di Papua yang tidak memberi banyak manfaat bagi masyarakat Papua.
Mengapa film ini diberi judul “Lost in Papua” ? jawabannya adalah karena, pertama: Tema ceritanya memang tentang orang yang hilang di Papua. Kedua, Papua dijuluki the lost world di dunia. Ketiga, budaya tradisional Papua menjadi target buruan orang orang Barat sehingga diharapkan film ini juga akan beredar disana (makanya judulnya dibuat Internasional bahasanya). Keempat, judul lost in..(nama daerah) sudah sering sekali dibuat diluar. jadi untuk melengkapinya kita membuat lost in papua. sebab selama ini ada : lost in america, lost in africa, lost in beijing, lost in pajama, lost in amsterdam dll mungkin itu sebuah trend dimana ada sebuah genre yg fokus mengangkat sebuah daerah maka akan enak dijuduli begitu. jadi bukan berarti menjiplak karena hampir disemua negara juga pernah memakai judul seperti itu juga.
Inti cerita film ini berawal di pedalaman rimba Papua, Rangga (Edo Borne) beserta timnya menjalankan sebuah misi eksplorasi mencari titik tambang. Tanpa mereka sadari telah memasuki wilayah terlarang yang dikenal dengan sebutan RKT 2000. Tak berapa lama, terjadilah sebuah petaka yang menyebabkan hilangnya anggota tim satu persatu
Tiga tahun kemudian. Nadia (Fanny Fabriana), mantan tunangan Rangga, masih terbayang dengan kejadian di Papua itu. Disisi lain, David (Fauzi Badillah) yang pernah di campakkan Nadia, masih terus mengejar Nadia dengan segala cara. Nadia tak menghiraukan David dan mencoba menjauhinya dengan menerima tugas ke Papua yang di berikan oleh bosnya, Pak Wijaya (Didi Petet), yang tak lain adalah ayah David
Nadia berangkat ke Papua membawa sebuah titipan cinderamata dari kakeknya (Piet Pagau) untuk kepala suku Korowai yang pernah menyelamatkan nyawanya di masa perjuangan lalu. Nadia yang baru pertama kali datang ke Papua, jatuh cinta dengan keindahan alamnya. Namun dibalik itu, misteri hilangnya Rangga masih terus membayangi Nadia
Perjalanan menuju suku Korowai tidaklah mudah, Nadia bersama teman-temannya harus melewati rintangan yang cukup berat. Bersama teman-temannya dia memasuki kawasan hutan di sekitar daerah boven digoel. Mereka menjumpai suku Korowai dan berinteraksi di dalamnya. Nadia menikmatinya. Sampai suatu ketika datanglah David yang mengacaukan segalanya. Nadia bersama yang lainnya berlari masuk ke dalam hutan. Mereka ditemukan oleh sebuah suku langka yang semuanya berisi wanita dan kemudian menyandera mereka. Semua laki-laki dijadikan bibit penerus keturunan suku tersebut. Nadia berhasil melarikan diri dan menyimpan dalam-dalam rahasia keberadaan suku langka yang pernah dijumpainya. Di suku inilah, Nadia mengetahui kalau Rangga tiga tahun lalu pernah ditangkap oleh suku ini. Berhasilkan Nadia menemukan Rangga dan keluar dari suku tersebut ?
Film ini “diarsiteki” oleh kakak – beradik putra kelahiran Muting, Papua, Irham Acho Bahtiar (sutradara) dan Iwan Trilaksana Bahtiar (produser). kembali membuat gebrakan terbaru dengan merilis Film Lost In Papua. Sekilas film itu menceriterakan tentang sejumlah pemuda nyasar di Papua dan bertemu dengan Suku Koroway di Kabupaten Boven Digoel yang masih hidup di atas pohon. Irham Acho Bahtiar sebelum membuat film “ Melody Kota Rusa “. Kemudian ia membuat film ini untuk menebus janji pada masyarakat Papua setelah kesuksesan Melody Kota Rusa. Janji untuk mempertemukan para pemain Film melody Kota Rusa dengan artis artis Ibukota dalam sebuah film berstandart untuk Bioskop kini akhirnya terwujud. Janji bahwa PH di Papua juga telah mampu memproduksi film dari ujung timur Indonesia.
Film Lost In Papua yang digagas Acho tersebut, mendapat sambutan sangat positif dari Nayacom Mediatama, salah satu rumah produksi di Jakarta. Guna membuktikan akan kesungguhan untuk bergandengan tangan bersama Merauke Enterprice Production (MEP), Nayacom Mediatama tidak tanggung-tanggung menggaet beberapa pemain sinetron asal ibukota yakni Fauzi Badila, Fani Febriana, Didy Pepet, Pet Dagau, Edo Borneo dan beberapa pesinetron kawakan lain untuk berperan secara langsung dalam Film Lost In Papua.
Bahwa meskipun terdapat beberapa pesinetron Jakarta terlibat dalam memerankan film tersebut, namun para kru yang telah mensukseskan Film Melodi Kota Rusa, tetap akan dilibatkan sebagaimana biasa. Selain itu, MEP diberikan tugas dan tanggungjawab membuka audisi pencarian bakat yang diprioritaskan kepada putra dan putrid daerah. Mereka akan mengikuti tes ekting, karakter dan akan dikirim ke Jakarta untuk memberikan penilaian. Target dari penggarapan film dimaksud adalah harus ada kolaborasi antara pesinetron asal Jakarta dengan putra dan putri asli Papua.
Iwan Trikalsana Bahtiar saat bincang-bincang dengan Papua Pos di kediamannya, mengungkapkan, inspirasi menggarap Film Lost In Papua, berawal dari Film Melody Kota Rusa yang telah ditayangkan dan di-CD-kan untuk dijual di Bumi Anim Ha. “Kami mencoba berpikir menggarap film yang mengisahkan tentang sejumlah pemuda ketika nyasar dan bertemu Suku Korowai - Boven Digoel. Suku itu masih hidup dan atau tinggal di atas pohon,” ungkap Iwan.
Untuk lokasi pengambilan gambar, demikian Iwan, selain di Jakarta, juga di Merauke seperti Pantai lampu Satu, Jembatan Tujuh Wali-Wali, Tugu LB Moerdani, Suasana dalam Kota Merauke, TN Wasur serta tarian khas orang Marind. Sedangkan di Boven digoel, lokasinya adalah di Penjara Bung Hata, sejumlah obyek wisata, suasana Kota Tanah Merah dan tradisi tarian disana. Sedangkan pengambilan gambar tentang kehidupan masyarakat Suku Korowai, tidak langsung ke kampung yang ada. Karena film tersebut adalah hiburan sehingga nantinya akan diperankan oleh orang yang benar-benar memahami karakter kehidupan suku disana.
“Saya garis bawahi kembali jika Film Lost In Papua adalah film hiburan. Olehnya, kita tidak melakukan syuting langsung di masyarakat Suku Korowai, tetapi nanti ada pemain yang berperan secara maksimal dengan menguasai kehidupan masyarakat ketika tinggal di atas rumah pohon. Jadi, mereka yang berperan itu, nantinya diseleksi secara betul-betul,” ungkap Iwan sambil menambahkan, peluang besar mereka yang mendapatkan peran dimaksud adalah putra dan putri asli Papua.
Fauzi Baadillah actor yang membintangi film Mengejar Matahari, 9 Naga, Jakarta Undercover, Jamila Dan Sang Presiden, dan masih banyak lagi nampaknya sedang menikmati perannya dalam film “ Lost in Papua “. Bersama lawan mainnya, Fanny Fabriana dirinya merasa tertantang membintangi film ini.
"Ini film terbaru gue, dan di sini gue karakternya cukup dibenci. Syutingnya juga nggak mudah, medan yang berat buat gue nguras tenaga banget," tutur Fauzi .
Berperan sebagai tokoh antagonis, Fauzi mengaku lebih nyaman. "Peran ini sangat saya dambakan karena menjadi tokoh yang dibenci banyak orang. Karakter saya muncul di sini, makanya saya total berakting,"ujar mantan suami Senk Lotta tersebut.
Di lokasi syutingnya di Papua, Fauzi mengaku sangat berat dalam menjalani pekerjaannya ini. "Saya nggak sampai drop, Fanny yang sempat sakit malaria. Walau sangat berat, saya berusaha jaga kesehatan jangan sampai sakit," ujarnya.
Fanny Fabriana sempat sakit saat syuting film ini, merasa impiannya menginjak daerah terujung timur Indonesia menjadi nyata saat tiba di Merauke.
“Selama ini aku hanya kenal Merauke lewat lagu. Tapi alhamdulilah banget, akhirnya aku bisa benar-benar ke sini,” ungkap Fanny penuh binar saat menggelar konferensi pers di lobby Hotel Asmat, Merauke.
Fanny Fabriana benar-benar merasa senang dan bangga, bagi dia hal ini merupakan kesempatan yang besar, karena belum tentu setiap orang, semua artis, bisa syuting di sana, sebab menurut pihak PH (Production House) yang buat film Lost in Papua, untuk perijinan syuting di Papua tidak gampang, susah banget, karena di sana kita bukan hanya berhadapan sama Pemda, tapi juga berhadapan dengan suku di sana, kebetulan yang punya PH Jakarta punya PH juga di Merauke, jadi akhirnya terjalin kerjasama. Buat Fanny , ini seperti kesempatan yang beda. Kalau biasanya dia syuting hanya di Jakarta, Bandung, Bogor, sementara sekarang di Papua, di mana dia harus menghabiskan waktu 10 jam perjalanan untuk sampai ke Merauke dan menghabiskan hampir satu bulan hari untuk syuting di sana sampai terkena malaria, itu sangat berkesan buat Fanny.
Fanny yang sudah membintangi enam judul film, antara lain, “Preman in Love”, “Serigala Terakhir”, “Sehidup tak Semati”, “Hari untuk Amanda”,dan “I Know What you did on Facebook’, ia berperan sebagai tokoh Nadiya yang berprofesi sebagai peneliti di di perusahaan tambang yang ada di Jakarta.
“Jadi dalam film ini saya diperintahkan pimpinan saya untuk survey tambang di daerah Boven Digoel. Yang mana daerah tersebut ternyata hutan perawan yang didiami oleh suku terasing (perempuan),” jelasnya.
“Saya senang bisa main dengan remaja disini. Dan ini akan menjadi suatu refleksi bahwa remaja-remaja di daerah juga ternyata punya talenta dalam bidang akting. Siapa tahu dengan bermain di film ini menjadi batu loncatan mereka untuk film-film nasional selanjutnya,” pungkasnya.
Saya benar-benar senang dan bangga, bagi saya hal ini merupakan kesempatan yang besar, karena belum tentu setiap orang, semua artis, bisa syuting di sana, sebab menurut pihak PH (Production House) yang buat film Lost in Papua, untuk perijinan syuting di Papua tidak gampang, susah banget, karena di sana kita bukan hanya berhadapan sama Pemda, tapi juga berhadapan dengan suku di sana, kebetulan yang punya PH Jakarta punya PH juga di Merauke, jadi akhirnya terjalin kerjasama. Buat saya ini seperti kesempatan yang beda. Kalau biasanya saya syuting hanya di Jakarta, Bandung, Bogor, sementara sekarang di Papua, di mana saya harus menghabiskan waktu 10 jam perjalanan untuk sampai ke Merauke dan menghabiskan hampir satu bulan hari saya untuk syuting di sana sampai terkena malaria, itu sangat berkesan buat saya.
Satu lagi yang menarik saat syuting adalah fenomena garis merah di Papua Selatan. Garis merah adalah sebuah simbol bagi aturan adat didaerah Papua bagian selatan. dalam beberapa adat suku marind jika sebuah keluarga mengalami kedukaan maka mereka akan memasang patok merah sebagai tanda tidak boleh ada yang melintas didaerah rumah mereka menggunakan kendaraan.
Jika ada yang melanggar atau tidak sengaja maka akan dikenakan denda adat.Ketika akan mengadakan syuting film ini pun, lokasi tempat syuting dihari pertama dipasangi patok merah. itu tandanya lokasi tersebut belum di setujui oleh adat. Setelah kru film “ Lost in Papua’ mengadakan pesta adat barulah lokasi itu dicabut patok merahnya sebagai pertanda bahwa syuting telah direstui secara adat.
Semua fenomena ini menandakan bahwa kita harus wajib menghargai adat adat ketika kita berada di negeri orang. Jangan menganggap enteng sebuah adat istiadat atau kultur disebuah tempat jika kita ingin dilancarkan.
Maka film “Lost in Papua” ini pun menggambarkan itu kedalam sebuah cerita tentang adanya garis merah dan larangan memasuki hutan tersebut. dan jika larangan itu masih dilanggar juga maka silahkan menanggung sendiri akibatnya tanpa harus menyalahkan ke larangan tersebut.
Sebelum film ini tayangan,copy film tersebut masih ditahan oleh pihak Lembaga Sensor Film. Karena Pihak LSF meminta selembar surat izin dari Kepala Daerah atau Bupati perihal penayangan 'Lost In Papua'.
"Intinya mereka (LSF) ingin tidak ada keresahan apabila suatu saat nanti ada sesuatu yang terjadi dan berkaitan dengan nama Papua. Mereka nggak mau kasus yang sebelumnya terjadi lagi," kata Elvin Ardiansyah selaku Eksekutif Produser
Film ini mendapat sambutan dari lima orang berkulit hitam yang ternyata asli suku Papua terlihat hilir mudik, hall XXI Epicentrum, Kuningan, Selasa(8/3/2011). Mereka tampak menyandang peralatan perang berupa panah,tombak dan tameng
Tak lama kemudian, para suku asli tersebut terlihat berlompat-lompatan sambil melangkah cepat dengan dipandu sebuah siulan sebagai tanda dalam beberapa perubahan formasi pergerakannya.
Aksi tersebut bukanlah sebuah aksi anarkis dalam artian negatif . Rupanya mereka tengah memberikan sebuah salam pembukaan dalam peluncuran perdana film berjudul "Lost in Papua".
Setelah film Denias ,semoga dengan film ini pariwisata di Papua Selatan akan makin terangkat. Dan mana yang lebih bagus antara film "Denias”, "Pencarian Terakhir" dan “Lost in Papua” ? Apakah film " Lost in Papua" bisa panitia seleksi Piala Oscar, seperti film "Denias, Senandung di Atas Awan" pada tahun 2008 ? Semoga
Pemain :
Fanny Fabriani
Fauzi Baadilla
Piet Pagau
Didi Petet
Edo Borne
Petrus Taro Gerze
Sutradara :
Irhamachobahtiar
Penulis :
Ace Arca
Augit Prima
sumber :
21cineplex.com,showbiz.vivanews.com , tribunnews.com,maiwanews.com,bintangpapua.com,cafeinbuti.blogspot.com, pepitoku.com, boleh.com, papuapos.com, kaskus, wikipedia
Salah satu dalam film “Lost in Papua” adalah ajakan untuk lebih menghargai alam dan tidak merusak kehidupan di dalamnya. Ini sekaligus merupakan sindiran bagi eksploitasi tambang di Papua yang tidak memberi banyak manfaat bagi masyarakat Papua.
Mengapa film ini diberi judul “Lost in Papua” ? jawabannya adalah karena, pertama: Tema ceritanya memang tentang orang yang hilang di Papua. Kedua, Papua dijuluki the lost world di dunia. Ketiga, budaya tradisional Papua menjadi target buruan orang orang Barat sehingga diharapkan film ini juga akan beredar disana (makanya judulnya dibuat Internasional bahasanya). Keempat, judul lost in..(nama daerah) sudah sering sekali dibuat diluar. jadi untuk melengkapinya kita membuat lost in papua. sebab selama ini ada : lost in america, lost in africa, lost in beijing, lost in pajama, lost in amsterdam dll mungkin itu sebuah trend dimana ada sebuah genre yg fokus mengangkat sebuah daerah maka akan enak dijuduli begitu. jadi bukan berarti menjiplak karena hampir disemua negara juga pernah memakai judul seperti itu juga.
Inti cerita film ini berawal di pedalaman rimba Papua, Rangga (Edo Borne) beserta timnya menjalankan sebuah misi eksplorasi mencari titik tambang. Tanpa mereka sadari telah memasuki wilayah terlarang yang dikenal dengan sebutan RKT 2000. Tak berapa lama, terjadilah sebuah petaka yang menyebabkan hilangnya anggota tim satu persatu
Tiga tahun kemudian. Nadia (Fanny Fabriana), mantan tunangan Rangga, masih terbayang dengan kejadian di Papua itu. Disisi lain, David (Fauzi Badillah) yang pernah di campakkan Nadia, masih terus mengejar Nadia dengan segala cara. Nadia tak menghiraukan David dan mencoba menjauhinya dengan menerima tugas ke Papua yang di berikan oleh bosnya, Pak Wijaya (Didi Petet), yang tak lain adalah ayah David
Nadia berangkat ke Papua membawa sebuah titipan cinderamata dari kakeknya (Piet Pagau) untuk kepala suku Korowai yang pernah menyelamatkan nyawanya di masa perjuangan lalu. Nadia yang baru pertama kali datang ke Papua, jatuh cinta dengan keindahan alamnya. Namun dibalik itu, misteri hilangnya Rangga masih terus membayangi Nadia
Perjalanan menuju suku Korowai tidaklah mudah, Nadia bersama teman-temannya harus melewati rintangan yang cukup berat. Bersama teman-temannya dia memasuki kawasan hutan di sekitar daerah boven digoel. Mereka menjumpai suku Korowai dan berinteraksi di dalamnya. Nadia menikmatinya. Sampai suatu ketika datanglah David yang mengacaukan segalanya. Nadia bersama yang lainnya berlari masuk ke dalam hutan. Mereka ditemukan oleh sebuah suku langka yang semuanya berisi wanita dan kemudian menyandera mereka. Semua laki-laki dijadikan bibit penerus keturunan suku tersebut. Nadia berhasil melarikan diri dan menyimpan dalam-dalam rahasia keberadaan suku langka yang pernah dijumpainya. Di suku inilah, Nadia mengetahui kalau Rangga tiga tahun lalu pernah ditangkap oleh suku ini. Berhasilkan Nadia menemukan Rangga dan keluar dari suku tersebut ?
Film ini “diarsiteki” oleh kakak – beradik putra kelahiran Muting, Papua, Irham Acho Bahtiar (sutradara) dan Iwan Trilaksana Bahtiar (produser). kembali membuat gebrakan terbaru dengan merilis Film Lost In Papua. Sekilas film itu menceriterakan tentang sejumlah pemuda nyasar di Papua dan bertemu dengan Suku Koroway di Kabupaten Boven Digoel yang masih hidup di atas pohon. Irham Acho Bahtiar sebelum membuat film “ Melody Kota Rusa “. Kemudian ia membuat film ini untuk menebus janji pada masyarakat Papua setelah kesuksesan Melody Kota Rusa. Janji untuk mempertemukan para pemain Film melody Kota Rusa dengan artis artis Ibukota dalam sebuah film berstandart untuk Bioskop kini akhirnya terwujud. Janji bahwa PH di Papua juga telah mampu memproduksi film dari ujung timur Indonesia.
Film Lost In Papua yang digagas Acho tersebut, mendapat sambutan sangat positif dari Nayacom Mediatama, salah satu rumah produksi di Jakarta. Guna membuktikan akan kesungguhan untuk bergandengan tangan bersama Merauke Enterprice Production (MEP), Nayacom Mediatama tidak tanggung-tanggung menggaet beberapa pemain sinetron asal ibukota yakni Fauzi Badila, Fani Febriana, Didy Pepet, Pet Dagau, Edo Borneo dan beberapa pesinetron kawakan lain untuk berperan secara langsung dalam Film Lost In Papua.
Bahwa meskipun terdapat beberapa pesinetron Jakarta terlibat dalam memerankan film tersebut, namun para kru yang telah mensukseskan Film Melodi Kota Rusa, tetap akan dilibatkan sebagaimana biasa. Selain itu, MEP diberikan tugas dan tanggungjawab membuka audisi pencarian bakat yang diprioritaskan kepada putra dan putrid daerah. Mereka akan mengikuti tes ekting, karakter dan akan dikirim ke Jakarta untuk memberikan penilaian. Target dari penggarapan film dimaksud adalah harus ada kolaborasi antara pesinetron asal Jakarta dengan putra dan putri asli Papua.
Iwan Trikalsana Bahtiar saat bincang-bincang dengan Papua Pos di kediamannya, mengungkapkan, inspirasi menggarap Film Lost In Papua, berawal dari Film Melody Kota Rusa yang telah ditayangkan dan di-CD-kan untuk dijual di Bumi Anim Ha. “Kami mencoba berpikir menggarap film yang mengisahkan tentang sejumlah pemuda ketika nyasar dan bertemu Suku Korowai - Boven Digoel. Suku itu masih hidup dan atau tinggal di atas pohon,” ungkap Iwan.
Untuk lokasi pengambilan gambar, demikian Iwan, selain di Jakarta, juga di Merauke seperti Pantai lampu Satu, Jembatan Tujuh Wali-Wali, Tugu LB Moerdani, Suasana dalam Kota Merauke, TN Wasur serta tarian khas orang Marind. Sedangkan di Boven digoel, lokasinya adalah di Penjara Bung Hata, sejumlah obyek wisata, suasana Kota Tanah Merah dan tradisi tarian disana. Sedangkan pengambilan gambar tentang kehidupan masyarakat Suku Korowai, tidak langsung ke kampung yang ada. Karena film tersebut adalah hiburan sehingga nantinya akan diperankan oleh orang yang benar-benar memahami karakter kehidupan suku disana.
“Saya garis bawahi kembali jika Film Lost In Papua adalah film hiburan. Olehnya, kita tidak melakukan syuting langsung di masyarakat Suku Korowai, tetapi nanti ada pemain yang berperan secara maksimal dengan menguasai kehidupan masyarakat ketika tinggal di atas rumah pohon. Jadi, mereka yang berperan itu, nantinya diseleksi secara betul-betul,” ungkap Iwan sambil menambahkan, peluang besar mereka yang mendapatkan peran dimaksud adalah putra dan putri asli Papua.
Fauzi Baadillah actor yang membintangi film Mengejar Matahari, 9 Naga, Jakarta Undercover, Jamila Dan Sang Presiden, dan masih banyak lagi nampaknya sedang menikmati perannya dalam film “ Lost in Papua “. Bersama lawan mainnya, Fanny Fabriana dirinya merasa tertantang membintangi film ini.
"Ini film terbaru gue, dan di sini gue karakternya cukup dibenci. Syutingnya juga nggak mudah, medan yang berat buat gue nguras tenaga banget," tutur Fauzi .
Berperan sebagai tokoh antagonis, Fauzi mengaku lebih nyaman. "Peran ini sangat saya dambakan karena menjadi tokoh yang dibenci banyak orang. Karakter saya muncul di sini, makanya saya total berakting,"ujar mantan suami Senk Lotta tersebut.
Di lokasi syutingnya di Papua, Fauzi mengaku sangat berat dalam menjalani pekerjaannya ini. "Saya nggak sampai drop, Fanny yang sempat sakit malaria. Walau sangat berat, saya berusaha jaga kesehatan jangan sampai sakit," ujarnya.
Fanny Fabriana sempat sakit saat syuting film ini, merasa impiannya menginjak daerah terujung timur Indonesia menjadi nyata saat tiba di Merauke.
“Selama ini aku hanya kenal Merauke lewat lagu. Tapi alhamdulilah banget, akhirnya aku bisa benar-benar ke sini,” ungkap Fanny penuh binar saat menggelar konferensi pers di lobby Hotel Asmat, Merauke.
Fanny Fabriana benar-benar merasa senang dan bangga, bagi dia hal ini merupakan kesempatan yang besar, karena belum tentu setiap orang, semua artis, bisa syuting di sana, sebab menurut pihak PH (Production House) yang buat film Lost in Papua, untuk perijinan syuting di Papua tidak gampang, susah banget, karena di sana kita bukan hanya berhadapan sama Pemda, tapi juga berhadapan dengan suku di sana, kebetulan yang punya PH Jakarta punya PH juga di Merauke, jadi akhirnya terjalin kerjasama. Buat Fanny , ini seperti kesempatan yang beda. Kalau biasanya dia syuting hanya di Jakarta, Bandung, Bogor, sementara sekarang di Papua, di mana dia harus menghabiskan waktu 10 jam perjalanan untuk sampai ke Merauke dan menghabiskan hampir satu bulan hari untuk syuting di sana sampai terkena malaria, itu sangat berkesan buat Fanny.
Fanny yang sudah membintangi enam judul film, antara lain, “Preman in Love”, “Serigala Terakhir”, “Sehidup tak Semati”, “Hari untuk Amanda”,dan “I Know What you did on Facebook’, ia berperan sebagai tokoh Nadiya yang berprofesi sebagai peneliti di di perusahaan tambang yang ada di Jakarta.
“Jadi dalam film ini saya diperintahkan pimpinan saya untuk survey tambang di daerah Boven Digoel. Yang mana daerah tersebut ternyata hutan perawan yang didiami oleh suku terasing (perempuan),” jelasnya.
“Saya senang bisa main dengan remaja disini. Dan ini akan menjadi suatu refleksi bahwa remaja-remaja di daerah juga ternyata punya talenta dalam bidang akting. Siapa tahu dengan bermain di film ini menjadi batu loncatan mereka untuk film-film nasional selanjutnya,” pungkasnya.
Saya benar-benar senang dan bangga, bagi saya hal ini merupakan kesempatan yang besar, karena belum tentu setiap orang, semua artis, bisa syuting di sana, sebab menurut pihak PH (Production House) yang buat film Lost in Papua, untuk perijinan syuting di Papua tidak gampang, susah banget, karena di sana kita bukan hanya berhadapan sama Pemda, tapi juga berhadapan dengan suku di sana, kebetulan yang punya PH Jakarta punya PH juga di Merauke, jadi akhirnya terjalin kerjasama. Buat saya ini seperti kesempatan yang beda. Kalau biasanya saya syuting hanya di Jakarta, Bandung, Bogor, sementara sekarang di Papua, di mana saya harus menghabiskan waktu 10 jam perjalanan untuk sampai ke Merauke dan menghabiskan hampir satu bulan hari saya untuk syuting di sana sampai terkena malaria, itu sangat berkesan buat saya.
Satu lagi yang menarik saat syuting adalah fenomena garis merah di Papua Selatan. Garis merah adalah sebuah simbol bagi aturan adat didaerah Papua bagian selatan. dalam beberapa adat suku marind jika sebuah keluarga mengalami kedukaan maka mereka akan memasang patok merah sebagai tanda tidak boleh ada yang melintas didaerah rumah mereka menggunakan kendaraan.
Jika ada yang melanggar atau tidak sengaja maka akan dikenakan denda adat.Ketika akan mengadakan syuting film ini pun, lokasi tempat syuting dihari pertama dipasangi patok merah. itu tandanya lokasi tersebut belum di setujui oleh adat. Setelah kru film “ Lost in Papua’ mengadakan pesta adat barulah lokasi itu dicabut patok merahnya sebagai pertanda bahwa syuting telah direstui secara adat.
Semua fenomena ini menandakan bahwa kita harus wajib menghargai adat adat ketika kita berada di negeri orang. Jangan menganggap enteng sebuah adat istiadat atau kultur disebuah tempat jika kita ingin dilancarkan.
Maka film “Lost in Papua” ini pun menggambarkan itu kedalam sebuah cerita tentang adanya garis merah dan larangan memasuki hutan tersebut. dan jika larangan itu masih dilanggar juga maka silahkan menanggung sendiri akibatnya tanpa harus menyalahkan ke larangan tersebut.
Sebelum film ini tayangan,copy film tersebut masih ditahan oleh pihak Lembaga Sensor Film. Karena Pihak LSF meminta selembar surat izin dari Kepala Daerah atau Bupati perihal penayangan 'Lost In Papua'.
"Intinya mereka (LSF) ingin tidak ada keresahan apabila suatu saat nanti ada sesuatu yang terjadi dan berkaitan dengan nama Papua. Mereka nggak mau kasus yang sebelumnya terjadi lagi," kata Elvin Ardiansyah selaku Eksekutif Produser
Film ini mendapat sambutan dari lima orang berkulit hitam yang ternyata asli suku Papua terlihat hilir mudik, hall XXI Epicentrum, Kuningan, Selasa(8/3/2011). Mereka tampak menyandang peralatan perang berupa panah,tombak dan tameng
Tak lama kemudian, para suku asli tersebut terlihat berlompat-lompatan sambil melangkah cepat dengan dipandu sebuah siulan sebagai tanda dalam beberapa perubahan formasi pergerakannya.
Aksi tersebut bukanlah sebuah aksi anarkis dalam artian negatif . Rupanya mereka tengah memberikan sebuah salam pembukaan dalam peluncuran perdana film berjudul "Lost in Papua".
Setelah film Denias ,semoga dengan film ini pariwisata di Papua Selatan akan makin terangkat. Dan mana yang lebih bagus antara film "Denias”, "Pencarian Terakhir" dan “Lost in Papua” ? Apakah film " Lost in Papua" bisa panitia seleksi Piala Oscar, seperti film "Denias, Senandung di Atas Awan" pada tahun 2008 ? Semoga
Pemain :
Fanny Fabriani
Fauzi Baadilla
Piet Pagau
Didi Petet
Edo Borne
Petrus Taro Gerze
Sutradara :
Irhamachobahtiar
Penulis :
Ace Arca
Augit Prima
sumber :
21cineplex.com,showbiz.vivanews.com , tribunnews.com,maiwanews.com,bintangpapua.com,cafeinbuti.blogspot.com, pepitoku.com, boleh.com, papuapos.com, kaskus, wikipedia