Sang Pemimpi: Inspiratif dan Sarat Makna

Penggemar novel “Sang Pemimpi” ataupun belum pernah sekalipun membaca karya Andrea Hirata tersebut, versi filmnya tetap jadi sebuah tontonan yang layak dinikmati. Bukan karena kepopuleran film sebelumnya ataupun versi literaturnya, tapi karena Riri Riza kembali berhasil mengemas film adaptasi kedua dari tetralogi Andrea Hirata ini menjadi salah satu karya film Indonesia terbaik di tahun 2009 ini. Bertumpu pada kisah nan inspiratif dari pulau Belitung itu, “Sang Pemimpi” membawa kita kembali ke indahnya daerah di propinsi Babel tersebut dan menyelami kembali kisah penuh inspirasi tentang kehidupan Ikal dan teman2nya dari remaja hingga dewasa, mencoba meraih impian mereka. Tapi yang menjadi karakter utama di film ini sekaligus yang dijuluki “Sang Pemimpi” itu justru adalah tokoh baru Arai, saudara sepupu Ikal, walaupun Ikal tetap menjadi sang narrator cerita.

Alur cerita dalam film memanfaatkan pola flashback alias kilas balik. Adalah Ikal dewasa (Lukman Sardi) yang bekerja di sebuah kantor pos sebagai tukang cap, profesi yang sebenarnya amat sangat ingin dihindarinya. Tapi memang nasib berkata lain, impian besar Ikal yang ingin melanjutkan pendidikannya di Universitas Sorbonne, Prancis harus tertunda dulu, meskipun dirinya telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Universitas Indonesia. Dalam hatinya Ikal bersungut dan mengingat sosok saudara sepupunya Arai (Nazril Irham alias Ariel Peterpan) yang turut memprovokasi dirinya untuk mempunyai cita2 setinggi itu. Arai yang sejak lulus dari Biologi UI juga terpaksa memakan tabungan karena tak kunjung mendapatkan satu pekerjaan lowong di Jakarta. Lalu Arai menghilang tak ada kabar dari rumah kontrakan mereka berdua.

Kemudian cerita pun mundur ke tahun 1985, Ikal (Vikri Septiawan), Arai (Rendy Ahmad) dan Jimbron (Azwir Fitrianto) adalah tiga sekawan yang dijuluki “tiga berandal” dari SMA Manggar pagi. Kenakalan2 yang mengisi masa remaja mereka sering membuat sang kepala sekolah killer Pak Mustar (Landung Simatupang) gusar dan pusing tujuh keliling. Arai remaja memang yang sering menjadi pencetus ide2 nakal itu dan mengajak Ikal dan Jimbron kabur dari sekolah ataupun bolos dari pengajian. Walaupun dijuluki berandal sekolahan, bukan berarti mereka tidak berprestasi. Ikal dan Arai sudah mulai memupuk cita2 dan mimpi mereka untuk bersekolah di Prancis, apalagi ada seorang guru favorit bernama Pak Balia (Nugie) yang menjadi sosok penyemangat. Kata2 sang guru "Telusuri Afrika, jelajahi Eropa, lalu berujung di altar ilmu, Sorbonne, Paris," selalu terngiang2 di telinga mereka. Pulang sekolah, mereka menghabiskan waktu di pelabuhan Manggar, membantu seorang tauke ikan dengan dibayar. Malam hari, mereka mengerjakan pekerjaan rumah secara bersama-sama. Mereka pun mulai menabung. "Kita harus sekolah ke Paris," kata Arai kepada Ikal. "Tapi kita harus kuliah dulu di Jakarta."

Pertemuan Ikal dan Arai dimulai ketika ayah Ikal (Mathias Muchus) menjemput Arai yang tinggal di pedalaman hutan. Arai yang yatim piatu itu kemudian tinggal bersama keluarga Ikal, dan dari situlah keakraban mereka berdua terjalin. Sejak pertama kali bertemu pun, Ikal sudah takjub dengan sepupunya tersebut. Saat seharusnya Arai sedih, dia bisa menghibur dirinya sendiri dan juga Ikal dengan permainannya. Arai pun masih mengejutkan Ikal dengan cara pikir yang kadang tidak sebanding dengan umurnya. Kebaikan dan cara berpikir yang tidak biasa itulah yang membuat Ikal tersadar dan berjanji untuk mengejar impian yang lebih tinggi lagi. Pertemuan keduanya dengan Jimbron pun terjadi dengan tidak sengaja. Saat sedang menonton film di televisi. Jimbron menghampiri mereka dan ikut menonton, lalu mulai berceloteh tentang kuda. Jimbron memang punya cita2 memiliki kuda, setidaknya bisa memegang dan menaikinya kelak. Anak yang berbicara rada gagap itu juga seorang yatim piatu yang diasuh oleh seorang Pendeta. Namun ketika ayah Ikal mengalami pemecatan yang membuat kondisi ekonomi keluarganya menjadi berkendala, Ikal pun mulai memikirkan kembali kemampuannya untuk bisa meraih impian2nya bahkan menjadi tak bersemangat untuk sekolah. Namun dengan semangat baru yang diberikan teman2nya, apalagi satu-satu kesulitan hidup itu mulai terselesaikan, impian2 itu kembali menggumpal di benaknya.

Apabila “Laskar Pelangi” kemarin mengusung keceriaan masa kanak2, “Sang Pemimpi” ini lebih mengupas fase2 kenakalan, kecerian, kegembiraan, dan kesedihan masa2 remaja. Mulai dari cinta pertama, usaha menggaet cewek hingga rasa penasaran khas remaja akan ikut mengisi petualangan Ikal dan kawan2nya. Jika di film sebelumnya, Riri Riza dan tim tidak terlalu menyadur versi novel dengan sama persis untuk memberikan kesan yang berbeda dengan versi literaturnya. Film kedua ini justru terlihat lebih setia dengan novel Andrea Hirata. Hampir 90% adegan benar2 menggambarkan kejadian2 yang tertuang di karya cetak “Sang Pemimpi”. Namun setiap peristiwa tak selalu digambarkan berhubungan langsung, ada beberapa peristiwa yang diceritakan layaknya puzzle2 kecil yang ikut membungkus keseluruhan narasi. Namun terkadang juga terselip adegan-adegan yang sulit untuk dicerna apa arti dan maksudnya.

Tata sinematografi juga akan kembali menyorot keelokan Pulau Belitung yang dikaruniai keindahan alam yang luar biasa itu. Namun tak hanya membuai kita dengan adegan2 ataupun bahasa gambar nan puitis tadi, beberapa adegan dramatik juga akan mengajak kita untuk sedikit merenung akan arti sebuah impian dan perjuangan untuk mewujudkannya. Selingan komedi pun sesekali disisipkan sebagai pemancing tawa. Adegan-adegan lucu yang tercipta dari beragam tingkah pola Arai dan teman-teman memang terbukti sukses menyegarkan suasana. Ada pula tokoh seniman melayu bernama Bang Zaitun (Jay Wijayanto) yang mengajarkan Arai bagaimana menarik hati cewek dengan lagu. Pemilihan Jay sebagai Bang Zaitun nampak cocok dengan karakter sang tokoh yang digambarkan nyentrik, inspiratif dan gombal. Bagi yang pernah baca novelnya pasti terpuaskan dengan penggambaran Bang Zaitun disini. Akting para pemain pun hadir dengan natural terutama bintang2 baru asli Pulau Belitung yang memerankan Ikal cs. remaja, benar2 tidak kalah dari akting para bintang cilik yang mengisi “Laskar Pelangi”. Penampilan vokalis Peterpan, Ariel, yang untuk pertama kali menjajal aktingnya disini juga tampil cukup baik. Meskipun tentunya belum bisa mengimbangi akting Lukman Sardi, tapi kemunculannya yang hanya sebentar dari keseluruhan durasi film lumayan menghibur para penonton.

Avatar: Pengalaman Sinematik Spektakuler

Selama satu dekade lebih James Cameron mempersiapkan karya berikutnya setelah mengukir sejarah perfilman dunia dengan tontonan terlaris sepanjang masa “Titanic”. Sekarang, film terbarunya “Avatar” telah beraksi menghibur para penonton di bumi ini dan kembali menunjukkan hasil kerja keras penuh ambisi sang sutradara perfeksionis. Lewat teknologi baru yang dibanggakan Cameron akan merubah pengalaman menonton anda, “Avatar” adalah sebuah karya super megah yang hanya pantas ditonton di layar lebar gedung bioskop, lebih sempurna lagi melalui layar raksasa IMAX dan kacamata 3-D, karena begitulah film ini telah diciptakan dan ditakdirkan oleh pembuatnya. Menontonnya lewat layar televisi, apalagi yang keluar dari cakram bajakan, bakalan luar biasa mengurangi kepuasan yang bisa anda dapatkan melalui film ini. Setiap decak kagum pantas dikeluarkan karena Cameron benar2 begitu detil merancang apa yang akan ditampilkannya dalam “Avatar”. Walaupun dari segi cerita mungkin petualangan fantasi ini belum bisa menandingi si raja festival “Titanic”, namun efek dan bahasa gambar secanggih apa yang disajikan disini mungkin bakalan susah ditandingi sineas lainnya dalam waktu dekat.



Cerita dalam film “Avatar” bersetting di tahun 2154, protagonisnya bernama Jake Sully (Sam Worthington) yang merupakan mantan perwira angkatan laut Amerika. Terluka dalam tugas yang kemudian membuatnya lumpuh, Jake terpilih untuk berpartisipasi dalam program Avatar, yang bisa membuatnya berjalan kembali. Tetapi bukan tubuh sesungguhnya melainkan pikiran Jake yang mengontrol versi lain dirinya dalam sosok makhluk hidup seperti manusia bertubuh biru terang, bermata kuning dan memiliki ekor. Jake dikirim ke Pandora, sebuah zona fiktif dalam tata surya yang dihiasi hutan nan subur yang penuh dengan berbagai macam makhluk hidup, sebahagian indah dan sebahagian lagi menakutkan. Pandora juga rumah bagi suku Na’vi, makhluk biru yang mirip dengan manusia itu. Walaupun menjalani kehidupan mereka dengan cara2 primitif, Na’vi memiliki kemampuan layaknya manusia dan budaya serta intelejensi yang bagus. Kaum manusia memang mencoba memasuki Pandora untuk meneliti kandungan mineral yang ada disana, namun karena tidak dapat menghirup udara di negeri Pandora, maka para ilmuwan menciptakan makhluk-mirip-suku Na’vi yang disebut sebagai Avatar. Merasa terancam terhadap rencana manusia yang ingin menguasai negeri mereka yang damai, suku Na’vi memerintahkan para prajuritnya untuk melindungi wilayah asli mereka tersebut. Sementara itu Jake yang telah berhasil mendarat di Pandora bertugas menggali info tentang komunitas Na’vi ini dari dalam. Ternyata tambang terbesar kandungan mineral yang dicari2 manusia itu terletak persis di bawah perkampungan penduduk pribumi Na’vi. Di perkampungan itu juga terletak sebuah pohon suci dengan seluruh catatan sejarah, ingatan, dan kebijakan Na’vi yang harus dilindungi. Menjalani kehidupan dengan suku itu, Jake akhirnya dekat dengan seorang wanita Na’vi bernama Neytiri (Zoe Saldana) yang mengajarinya untuk hidup di hutan, berbicara bahasa mereka, dan menghormati tradisi alam. Kebersamaan membuat mereka jatuh cinta dan Jake mulai beradaptasi dan menyukai hidup seperti bangsa itu. Ia bahkan melupakan tugasnya semula sementara manusia punya rencana lain untuk menguasai Pandora lewat pasukan yang dilengkapi dengan persenjataan dan semacam kostum robot yang membuat mereka bisa bergerak di planet itu. Sekuat apapun Jake berusaha mencari jalan damai untuk kedua belah pihak, pimpinan dari operasi manusia untuk menguasai Pandora, Kolonel Miles Quaritch (Stephen Lang), selalu merasa sebaliknya. Peperangan besar antara manusia dan Na’vi pun tidak terelakkan lagi.


Di antara film “Titanic” dan “Avatar” ini, Cameron menggarap dua buah dokumenter berjudul “Ghosts of the Abyss” dan “Aliens of the Deep”. Lewat dua karya itu Cameron menghabiskan waktunya untuk mempelajari kehidupan di dasar samudera yang kemudian mencetuskan ide dan memberikannya pengetahuan dalam penciptaan dan penggarapan “Avatar”. Dalam durasi sekitar 160 menit, terlihat sekali Cameron mampu menata ide2 briliannya dalam penggambaran planet Pandora dengan begitu rinci, detil dan apik. Grafik cerita juga sebenarnya mampu dihadirkannya dengan baik sehingga pada adegan klimaksnya sekalipun masih menyisakan 'kekuatan narasi' dan bukan hanya sekedar solusi akhir sebuah film aksi yang murni berisi adegan laga saja. Walaupun begitu, adegan final “Avatar” memang benar2 diwarnai oleh aksi aksi luar biasa fenomenal sepanjang 20 menit yang bakalan melekat di memori para penikmat film ini. Cameron juga berhasil memanfaatkan waktu 160 menit itu dengan baik sehingga seluruh aspek dari film ini dapat terekspos dengan baik. Bagi beberapa orang mungkin durasi film tadi terdengar terlalu lama, tapi kenyataanya tidak semenitpun film ini akan membuat anda bosan. Cameron selalu bisa menghadirkan berbagai hal yang siap memanjakan pengalaman menonton anda.




Soal visualnya kembali yang sebagian besar mengandalkan CGI, Cameron juga terlihat paham benar dan menempatkan teknologi pada tempat yang seharusnya. Visual efek terlihat sangat realistis terlebih pada ekspresi wajah bangsa Na'vi yang benar-benar mencerminkan emosi yang mereka rasakan saat itu. Anda mungkin pada awalnya akan menganggap film ini terlalu kartun, tapi tunggu saja saat anda melihat penampilan para makhluk Na’vi itu, sosok mereka hadir layaknya aktor aktris sungguhan yang menggunakan topeng ataupun riasan tebal. Mata mereka begitu hidup dan bernyawa, setiap ekspresi dan gerak tampil begitu sempurna. Belum lagi dunia penuh imajinasi Pandora, Cameron sanggup menciptakan sebuah dunia yang penuh visual membelalakkan mata itu tanpa harus terjebak dengan eksploitasi CGI yang berlebihan. Kalaupun ada kekurangan yang terasa di film ini mungkin itu datang dari faktor ceritanya. Ide dasar cerita yang disajikan dalam “Avatar” sebenarnya tak jauh beda dengan beberapa film yang mencoba mengungkap masalah yang sama seperti “Dances with Wolves” ataupun “The Last Samurai”. Namun sekali lagi, sedikit kekurangan yang mungkin muncul itu tidak ada apa2nya dibandingkan kelebihan “Avatar” yang sangat luar biasa tadi. Bukan hanya patut menjadi salah satu film terbaik di tahun 2009 ini, “Avatar” adalah tontonan penutup tahun yang sangat2 pantas menjadi rekomendasi. Sebuah karya epik bercita rasa tinggi yang tidak boleh dilewatkan sama sekali.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme