Siaga Film: Alice in Wonderland

Tim Burton adalah sutradara yang dikenal dengan karya2nya yang unik dan berkarakter. Lewat ciri khas gothic dan kelamnya, Burton telah menghasilkan berbagai film yang populer di mata penonton dan kritikus, yang paling terkenal tentu adalah judul2 seperti “Batman”, “Edward Scissorhands”, dan “Sleepy Hollow”. Anda juga tentunya masih ingat betapa eksentrik jadinya dongeng anak2 “Charlie and the Chocolate Factory” lewat arahannya. Kembali coba mewujudkan lagi fantasi keluarga legendaris lewat visualnya, kali ini Burton mengincar dongeng terbaik sepanjang masa, “Alice in Wonderland”, karya Lewis Carroll yang entah sudah berapa kali diadaptasi dalam berbagai bentuk seni hiburan. Tapi sekali lagi lewat pendekatan uniknya, Burton akan menghadirkan hal2 baru yang belum pernah terpikirkan oleh orang lain yang pernah mengadaptasi karya ini. Dari proses pembuatannya aja film ini udah menawarkan sesuatu yang jarang yakni penggabungan dua teknik yaitu live action dan teknologi motion capture. Bila sebelumnya kita pernah menonton film yang menggabungkan live action dan animasi, nah motion capture ini adalah tingkat lanjut dari animasi yang menjadikan gambar lebih hidup dan nyata. Contohnya tentu bisa kita liat dalam film2 animasi 3D terbaru seperti “A Christmas Carol”, “Beowulf” dan “Polar Express”.

Menjadikan film ini lebih unik lagi adalah cerita film ini yang merupakan sekuel dari cerita Alice terdahulu. Kisahnya akan dimulai saat Alice (Mia Wasikowska) telah menginjak usia 19 tahun. Pada saat menghadiri sebuah pesta, Alice merasa tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan dan suasananya. Maka dari itu dia memutuskan untuk melarikan diri dan langkahnya membawa dirinya masuk kedalam hutan dimana Alice akan kembali bertemu dengan White Rabbit (Michael Sheen). Untuk kedua kalinya pula Alice akan mengikuti Rabbit masuk kedalam lubang yang menjadi pintu menuju sebuah negeri bernama “Wonderland”. Negeri yang pernah dikunjunginya 10 tahun yang lalu itu tampaknya telah terlupakan dari ingatannya.
Wonderland adalah sebuah kerajaan yang damai, sampai suatu ketika Red Queen (Helena Bonham Carter) merebut tampuk kekuasaan dari saudarinya yaitu White Queen (Anne Hathaway). Para penghuni negeri tersebut seperti Cheshire Cat (Stephen Fry), si kembar Tweedledee & Tweedledum (Matt Lucas) serta March Hare (Noah Taylor) sudah siap untuk melakukan pemberontakan, jika Alice bersedia membantu mereka. Lewat pertolongan White Queen, Mad Hatter (Johnny Depp) dan Caterpillar (Alan Rickman), Alice mulai mengumpulkan kembali ingatan dari kunjungan pertamanya di Wonderland pada saat dia masih berumur 9 tahun.

Kesekian kalinya pula, aktor watak Johnny Depp bekerja sama dengan Tim Burton dalam film ini. Terakhir mereka telah berkreasi dalam “Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street” tahun kemarin. Perannya disini lagi2 jadi sosok eksentrik bernama Mad Hatter. Tata make up yang digunakannya juga langsung membuat sosoknya jadi tidak gampang dikenali. Film ini menandai penampilan ketujuh Depp dalam karya Burton.
Yang tidak ketinggalan adalah Helena Bonham Carter, istri Burton sekaligus aktris langganannya yang telah tampil dalam enam film garapan sang sutradara. Menjadi sosok antagonis Red Queen, Carter tampil tidak kalah total dan unik, saksikan aja komposisi kepala dan tubuhnya yang dirombak oleh kecanggihan efek sehingga tampil layaknya karikatur. Bintang cantik yang sedang naik daun Anne Hathaway tampil dalam sosok sendu White Queen, meskipun dibalut make up putih tebal tapi masih tetap menampilkan keelokan wajahnya. Peran Alice sendiri dibawakan oleh aktris pendatang baru bernama cukup ribet Mia Wasikowska yang tentunya masih asing bagi kebanyakan penonton. Aktor2 watak yang lain sepertinya hanya akan berakting lewat vokal mereka seperti Michael Sheen, si Aro Volturi di “Twilight Saga: New Moon”, sebagai si kelinci putih dan Allan Rickman, Prof. Snape di serial “Harry Potter”, sebagai sang ulat Caterpillar.

Rencananya, Disney akan merilis film penuh fantasi ini pada 5 Maret 2010 mendatang. Teknologi 3-D yang sedang jadi primadona siap menghadirkan visual menawan dan mengejutkan dalam “Alice in Wonderland”. Bagi fans Burton, penggemar dongeng Alice dan siapa saja yang suka dengan visual fantasi yang mengagumkan tentunya tidak boleh melewatkan karya terbaru sutradara yang selalu mempunyai imajinasi gila dalam setiap filmnya ini.

Twilight Saga New Moon: Sekuel Yang Membosankan

Pertama-tama gue akan memulai resensi ini dengan jujur mengatakan kalau gue belum pernah membaca satupun buku dalam serial Twilight, tapi gue sempat menonton film pertamanya tahun kemarin sebelum menyaksikan yang kedua ini yaitu “New Moon.” Dari itu, resensi ini benar2 murni berdasarkan pengamatan pada sebuah karya sinema bukan sastra, secara dua karya ini memang seharusnya dilihat dari sisi yang berbeda dan bukannya untuk dibanding2kan.
Yang gue yakini juga, film ini punya banyak penggemar fanatiknya diluar sana yang tentunya dimulai dari kesukaan atas versi novelnya. Para penggemar fanatik ini mungkin bakalan sangat2 menyukai “New Moon” tanpa memikirkan segi kualitas sebuah film itu sendiri. Dan hal itu tentunya sangat berbeda dengan kita yang datang sebagai penonton dan pengamat film biasa, dengan kata lain bukan salah satu dari penggila serial ini. Pikiran kita tentunya akan lebih terbuka dalam menerima “New Moon” sebagai sebuah karya sinema dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Maka dari itu, menurut gue film kedua yang diangkat dari serial laris karya Stephanie Meyer ini adalah sebuah karya film yang gagal. Sepanjang film terasa sangat2 lamban, terlalu lama dan aneh.

Sepanjang 2 jam lebih gue menonton film ini, gue merasa seperti menyaksikan sebuah buku teramat tebal yang dibuka satu persatu halamannya dalam layar, bukannya sebuah film yang ‘diadaptasi’ dari sebuah karya sastra. Untuk para penggemar setia, hal ini mungkin bisa dianggap sebagai hal yang lumrah, karena mereka memang mengharapkan setiap hal yang mereka baca bisa dimunculkan kedalam layar lebar semuanya. Dari apa yang gue denger dari beberapa yang sudah membaca novelnya, film ini memang lumayan berhasil dalam mewujudkan impian para pembaca, tapi kata lumayan tadi tentunya bukan berarti berhasil secara menyeluruh juga toh. “New Moon” sepertinya benar2 bergerak dari satu adegan ke adegan lainnya secara runut sesuai daftar yang diinginkan para pembaca novel, dan kebanyakan dari adegan2 tersebut mempertontonkan hal2 ga penting dan dialog2 yang membosankan. Bagi penggemar aksi, film ini tidak menjanjikan banyak aksi menegangkan dan menarik, hal yang mungkin diakibatkan oleh struktur dan gerak penceritaannya yang lamban, atau mungkin juga karena karakter2nya.

Beberapa karakter mungkin masih bisa jadi favorit, tetapi chemistry yang dihadirkan disini bener2 sangat lemah. Gue sendiri udah ga yakin apakah Bella dan Edward benar2 dua insan yang punya cinta mati seperti di film perdana dulu. Hubungan diantara keduanya terasa sangat hambar, ditambah lagi durasi mereka untuk berdua memang sangat sedikit sekali (hanya diawal dan penghujung film). Sama sekali ga terasa emosi yang dibutuhkan untuk meyakinkan penonton akan kuatnya tali cinta mereka, adegan2 itu hanya diwarnai oleh kesunyian, saling menatap dan Edward yang kadang2 mengucapkan beberapa frasa cinta gombal seperti “you are my everything” dan “I didn’t wanna live in a world where you didn’t exist”. Chemistry antara Bella dan Jacob malah lebih kering dan aneh lagi, tampaknya tidak ada karakter yang bisa bertukar dialog tanpa adanya ekspresi, mimik dan vokalisasi yang aneh. Percapakan yang terjadi pun terkesan tidak wajar dan jauh dari natural. Ada beberapa humor yang coba diselipkan oleh penulis naskah kedalam dialog, tapi ga ada yang bisa membuat gue tergelak, malah ketidakwajaran chemistry antar para tokoh yang bikin gue tersenyum heran. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakfasihan sang sutradara Chris Weitz yang menggantikan Catherine Hardwicke dari film terdahulu, dalam menangkap koneksi dan emosi antar para tokoh. Dari segi naskah, emang dari “Twilight” dulu juga tidak bisa dibilang bagus2 amat, tapi Hardwicke bisa menghadirkan sebuah drama dan chemistry yang lebih baik dibandingkan Weitz.

Kekuatan yang dimunculkan Weitz disini justru dari segi sinematografi, dan adegan2 aksi yang lebih tertata meskipun kemunculannya sangat2 jarang sekali. Transformasi para manusia serigala pun berjalan tanpa kendala berarti, bahkan ada beberapa adegan yang terlihat sangat detil efeknya. Balik lagi ke kekurangan film yang emang jauh lebih banyak dari kelebihannya tadi, musik yang disuguhkan disini pun kadang terkesan kurang cocok dengan keseluruhan adegan, dan lagi2 meninggalkan kesan janggal. Adegan akhir yang diharapkan menjadi duel menegangkan antara klan vampir pun tidak bisa memberikan poin lebih dan malah terkesan antiklimak.

Jadinya, keseluruhan “The Twilight Saga: New Moon” ini adalah film yang cukup mengecewakan. Masih belum mampu melebihi kualitas film pertamanya yang juga ga bagus2 amat itu. Sedikit adegan yang bisa menghibur dari durasi yang begitu panjang dan lama, semuanya terkesan lambat dan kurang menegangkan, koneksi yang miskin diantara para tokoh dan diperparah oleh akting yang kurang mengena. Bila kamu adalah penggemar setia Twilight mungkin akan menganggap film ini sangat menarik dan tidak setuju dengan resensi gue ini. Tapi bagi penonton yang murni mencari sebuah pengalaman sinematik yang lengkap, film ini kurang bisa dijadikan sebagai sebuah rekomendasi yang baik.


powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme