Get Married 2: Sebuah Sekuel Yang Cukup Baik dan Menghibur

Dengan suksesnya film “Get Married” yang dibintangi rombongan bintang seperti Nirina Zubir, Ringgo Agus Rahman, Aming, Desta, Meriam Bellina, dan Jaja Mihardja. Tidak heran bila rumah produksi Starvision Plus berniat mengulang kesuksesan yang sama dengan mengajak mereka kembali di film sekuel “Get Married 2”. Walaupun film ini merupakan kisah kelanjutan, tetapi penonton tidak akan kebingungan mengikuti jalan ceritanya biarpun belum pernah menonton film pertamanya. Karena jalan ceritanya dibuat berdiri sendiri-sendiri alias tidak begitu berkaitan. Mengambil waktu empat tahun kemudian dari film sebelumnya, film ini menceritakan kehidupan rumah tangga Mae, wanita dari keluarga sederhana yang diperankan oleh Nirina Zubir dengan Rendi, pria kaya raya yang diperankan oleh Nino Fernandez (menggantikan Richard Kevin yang membawakan tokoh ini di “Get Married). Karena pernikahan Mae dengan Rendi, maka sahabat-sahabat Mae yakni Eman diperankan oleh Aming, Beni diperankan oleh Ringgo Agus Rahman dan Guntoro yang diperankan oleh Desta bisa memperoleh pekerjaan di kantor Rendi, masing-masing menjadi satpam, office boy, dan supir. Dengan semangat kebersamaan, ketiga sahabat Mae itu tidak sungkan-sungkan ikut campur dalam urusan rumah tangga Mae, termasuk memberi nasihat dalam urusan tempat tidur mengingat Mae dan Rendi belum juga dikaruniai anak. Rendi yang merasa ketiga sahabat Mae itu adalah bawahannya dikantor menjadi sedikit tersinggung karena mereka mencampuri urusan pribadi rumah tangganya. Ketersinggungan Rendi membuat Mae kecewa dan menganggap Rendi tidak menghormati sahabat-sahabat yang telah dianggapnya sebagai saudara sendiri hingga akhirnya mereka bertengkar.Pertengkaran mereka membuat Rendi stres, ditambah lagi orang tua Mae yang diperankan oleh Jaja Miharja dan Meriam Bellina menuntut Rendi untuk segera menghamili Mae jika tidak mau bercerai.

“Get Married 2” masih sebuah prinsip yang mengatakan seberat apapun tema dan maksud yang hendak disampaikan sebuah film harus tetap menghibur. Maka dari itu, bisa dibilang film lanjutan ini ternyata lebih kocak dan lebih segar dibandingkan yang pertama. Komedi, konflik dan permasalahan lebih komplit. Kelakuan Mae, Eman, Beni, Guntoro, dan terutama kedua orangtua Mae yang diperankan dua aktor dan aktris kawakan, Jaja Miharja dan Meriem Bellina, membuat suasana semakin hidup dan mengocok perut kita, karena mereka bukan karakter yang tidak mungkin ditemukan di keseharian kita hidup di Indonesia. Meskipun menghibur dalam balutan komedi situasi tadi, tetapi masih terdapat beberapa bagian yang ceritanya tampak menggantung dan sedikit kedodoran (kalo ga ingin disebut agak maksain). Beberapa adegan lucu juga sepertinya tidak cocok untuk dikonsumsi oleh anak2 yang masih di bawah umur. Yang menjadi kelemahan lagi di film ini adalah Nino Fernandez yang melanjutkan peran sebagai Rendy. Karakternya terlihat jauh lebih lemah dibandingkan film pertama dulu. Entahlah apakah ini karena tuntutan skenario yang mengharuskan penggambaran karakternya harus seperti itu, ataukah salah penafsiran Nino sendiri mengenai tokoh yang harus dibawakannya. Yang pasti Rendy di film kedua ini terkesan sangat kurang berwibawa dan cuma jadi bulan-bulanan trio Guntoro-Beni-Eman aja.

Tapi bagaimanapun, Film yang digarap Hanung Bramantyo ini masih tetap menghibur dan Hanung lagi2 berhasil menangkap potret kehidupan masyarakat Indonesia yang berwarna dengan baik. Film tentang persahabatan, cinta dan pendewasaan diri melalui keberanian menertawakan diri sendiri ini patut ditonton di bioskop2 terdekat anda.

Phobia 2: Ga Kalah Seru Dari Film Pendahulunya

Ditengah semaraknya perfilman horor di negeri gajah putih Thailand, “Phobia 2” yang menyajikan lima cerita horor pendek oleh lima sutradara berbeda, masih sanggup tampil cemerlang sebagai sebuah tontonan menyeramkan yang fresh, menghibur dan siap menggedor jantung dan nyali para penontonnya di setiap menit sepanjang durasinya. Sebagai sekuel “Phobia” yang telah dipuji2 para penggemar film itu, film satu ini tetap tidak kehilangan aroma horor yang menjadikan film pertamanya begitu menarik. Selain hadirnya kembali karya tiga sutradara yang dulu bekerja untuk “Phobia”, juga kemunculan dua sutradara baru yang salah satu diantaranya pernah menghasilkan sebuah film horor yang telah diakui kualitasnya di dunia internasional yaitu “Dorm.”

Film ini dibuka dengan segmen bertajuk “Novice,” menceritakan kisah menegangkan tentang seorang pria remaja yang harus membayar sebuah dosa besar dengan sangat mengenaskan. Sementara efek suara dan musik latarnya udah sanggup mendirikan bulu roma dan menjembatani kita masuk ke adegan2 horornya, kisah ini akan membawa kita masuk jauh ke dalam rimba dalam kekelaman malam, dimana makhluk2 halus bebas berkeliaran. Aktor remaja Jirayu La-Ongmanee (The Legend of King Naresuan) tampil bersinar di peran utama perdananya, terutama dalam adegan dimana dengan tanpa berdaya dia memohon pengampunan atas dosa2nya. Menurut gue, segmen ini juga merupakan karya terbaik sutradara Paween Purijitpanya yang seblumnya menggarap “Body # 19” dan segmen bertajuk “Tit For Tat” di “Phobia”. Ciri khasnya yang selalu menyajikan efek CGI pada kemunculan sosok hantu dan sinematografi yang unik, berpadu dengan sangat baik disini. “Novice” mungkin adalah segmen paling menyeramkan di “Phobia 2” dan menjadi pembuka yang sangat efektif sekali.
Skor: 8/10

Cerita pendek kedua, “Ward”, mengajak kita ikut merasakan bagaimanakah rasanya berada di dalam sebuah kamar rawat rumah sakit bersama seorang pasien koma tidur di sebelah kita. Adalah Arthit (Dan Worrawech) seorang pemuda yang mengalami patah kedua kakinya akibat kecelakaan motor. Dia harus dirawat dalam ruangan yang sama dengan seorang kakek2 yang sudah mengalami kondisi koma cukup lama. Tapi malam itu, sang pemuda merasa bila si kakek sebenarnya tidak sepenuhnya tidak sadar, sebab dia yakin akan hadirnya makhluk lain di dalam ruangan yang gelap dan sepi itu. Memiliki durasi terpendek dari lima kisah pendek lainnya, cerita “Ward” terasa kurang dari segi detil dan harusnya bisa diperkaya dengan munculnya sedikit diskusi tentang pertentangan antara ilmu pengetahuan dan takdir di tengah masyarakat modern Thailand. Meskipun masih cukup menegangkan untuk dinikmati tapi segmen ini terasa sekali sangat buru2 dihabiskan.
Skor: 7/10

“Backpackers”, cerita ketiga, adalah jawaban Thailand terhadap film2 zombie Hollywood. Sementara plotnya mungkin lumayan mengkopi formula Amerika, tapi segmen ini masih bisa mengajak penonton mengikuti rollercoaster ketegangannya dari awal hingga akhir, menikmati kepanikan para protagonis menghindari gerombolan zombie kelaparan. Menurut gue, dari lima segmen yang ada, “Backpackers” ini paling berpotensial untuk dikembangkan lagi ceritanya untuk menjadi satu buah film panjang, menggali lebih dalam subplotnya yang menarik seperti asal muasal para zombie, roman antara dua bintang utamanya, dan reaksi pemerintah yang bisa disajikan secara parabel maupun satir. Endingnya juga terkesan membuka pintu bagi hadirnya sebuah sekuel yang mungkin juga bisa dilanjutkan di “Phobia 3” nanti. Sutradara Songyos Sukmakanant yang menggarap segmen ini sebelumnya dikenal lewat film “Dorm” yang telah meraih popularitas di berbagai festival internasional. Disini juga Songyos kembali bekerja sama dengan aktor cilik yang dulu bermain di “Dorm” yaitu Charlie Trairat yang telah beranjak remaja.
Skor: 7/10

Segmen keempat digarap oleh salah satu duo “Shutter” yaitu Parkpoom Wongpoom, “Salvage”. Dalam “Phobia” dulu Parkpoom menyajikan segmen penutup berjudul “The Last Fright” yang tokoh utamanya adalah seorang wanita yang dicekam ketakutan di dalam sebuah pesawat terbang. Sekarang, tetap mengandalkan roman kepanikan seorang wanita yang dibintangi oleh bintang cantik Thai, Nicole Theriault, Parkpoom mengalihkan lokasi horornya ke sebuah tempat penyimpanan dan perakitan mobil bekas. Segmen ini terasa kehilangan fokus pada saat plotnya membagi konsentrasi antara kepanikan sang tokoh utama mencari anaknya yang hilang dan ketakutannya menghadapi teror makhluk halus penghuni salah satu mobil bekas. Cerita ini sebenarnya bisa lebih diperdalam maksudnya bila subjek karma dan ketidakjujuran, yang mewarnai sebagian besar segmen dalam film ini, lebih diuraikan dengan terperinci. However, mungkin durasi lagi yang menjadi kendalanya disini.
Skor: 6,5/10

“In the End,” segmen kisah pendek terakhir adalah yang paling unik dan spesial diantara empat sebelumnya, dan yang menjadi peraih juara segmen favorit gue. Disajikan oleh peracik “Shutter” lainnya yaitu Banjong Pisanthanakun yang ternyata dalam “Phobia” dulu juga memenangkan keseluruhan segmen lewat cerita berjudul “In the Middle”. Kali ini sang sutradara kembali mengajak kwartet favoritnya dalam “In the Middle” yang lagi2 menyumbangkan banyak kelucuan khas mereka dalam kisah horor ini. Ceritanya mereka berempat adalah krew sebuah produksi horor yang sedang berusaha menuntaskan satu adegan terakhir dalam film tersebut. Bintang utamanya diperankan oleh Marsha Wattanapanit yang mungkin akan langsung mengingatkan kita pada perannya dalam “Alone”. Tak disangka dan tak diduga, pemeran sosok hantu dalam produksi itu terserang penyakit gawat dan harus dilarikan ke rumah sakit secepatnya. Kerja pun tertunda namun tidak berselang lama, si aktris kembali untuk menyelesaikan bagiannya tetapi dengan bingkisan teror yang akan menjadi mimpi buruk bagi semua krew di lokasi syuting. Heboh tapi sangat lucu, plot segmen yang satu ini menjelajahi berbagai twist yang akan mengejutkan anda. Akhirnya juga sangat tidak terduga dan tidak disangka2, jadi, seperti tagline nya film “The Sixth Sense”, “Never Tell The Ending To Anyone”.
Skor: 9/10

Jadi kesimpulannya, lagi2 perfilman horor Thailand berhasil menghadirkan sebuah antologi kisah seram yang sukses dan semakin memperkuat eksistensi franchise “Phobia” di mata penggemarnya. Maka dari itu, sangat2 ditunggu kehadirannya “Phobia 3” dengan enam kisah horor yang tentunya lebih menarik, lebih seram, lebih lucu dan durasi yang lebih efektif lagi.


Siaga Film: Sherlock Holmes

Mencoba mengikuti kesuksesan reka ulang Batman, James Bond, dan Star Trek baru2 ini, bulan Desember nanti satu tokoh legendaris bernama Sherlock Holmes juga akan kembali menjumpai para penikmat film dengan kemasannya yang baru. Tokoh satu ini mulai berkibar namanya sejak novel karya Arthur Conan Doyle diperkenalkan pada abad ke 19 dan sejak itu terus berkembang dan menjalajah berbagai jenis media hiburan yang menjadikan Holmes salah satu peran detektif paling terkenal sepanjang masa. Aktor handal yang sedang naik daun Robert Downey, Jr. (Iron Man) didaulat untuk memerankan sosok Holmes di versi terkini ini bersama aktor Inggris Jude Law sebagai Dr. Watson, sahabat serta mitra Holmes dalam mengungkapkan berbagai kasus kriminal. Dalam film berjudul “Sherlock Holmes” ini, berdua mereka akan tampil sebagai tim detektif Inggris muda yang siap menjelajahi dunia yang lebih realistik dan penuh misteri2 yang baru juga tentunya.

Guy Ritchie (Lock, Stock, and Two Smoking Barrels), sutradara ngetop Inggris dan mantan suami ratu pop Madonna itu, bertanggung jawab sebagai sutradara film ini. Tentunya kita juga bersiap untuk menyantap tampilan baru Holmes ini dalam racikan khas Ritchie yang cukup unik itu, tetapi sang sutradara juga sempat mengatakan bila dia berusaha untuk tetap mendekati karyanya dengan kisah orijinal karangan Doyle. Meskipun begitu, konon film ini juga merupakan hasil adaptasi dari sosok baru Holmes dalam sebuah buku komik karangan Lionel Wigram. Ceritanya akan membawa Holmes dan mitranya Watson pada kasus baru yang menantang kredibilitas mereka berdua. Yang sungguh berbeda dari gambaran Doyle pada sosok detektif kebanggaannya ini adalah Ritchie telah menciptakan Holmes yang memiliki kemampuan bertarung dan bela diri bak sosok pendekar Kung Fu ataupun Iko Uwais di “Merantau”, dan itu adalah hal yang belum pernah dihadirkan pada hasil2 adaptasi sebelumnya. Satu lagi, film ini bakal disajikan dalam bentuk komedi aksi, jadi anda tidak akan dibuat jenuh akan pemecahan kasus yang serius, melainkan anda juga akan dibuat tertawa akan aksi unik Holmes dalam memecahkan kasus-kasus yang rumit. Turut membintangi sebagai penyegar mata adalah aktris muda dan cantik Rachel McAdams, tentunya sebagai target asmara si detektif ternama.

Plot: Tak ada yang pernah meragukan kalau Sherlock Holmes (Downey, Jr.) adalah seorang penyelidik yang handal. Tak ada kasus yang tak bisa dipecahkan oleh Sherlock bahkan yang paling pelik sekalipun. Sherlock dan sahabatnya, Dr. John Watson (Law) adalah tim yang tak terkalahkan. Pihak kepolisian Inggris sudah sering kali terbantu oleh dua orang yang mahir dalam menyelidiki kasus kejahatan ini termasuk saat Sherlock dan Watson berhasil mengungkap kejahatan penyembah setan bernama Lord Blackwood (Mark Strong) dan membawa pria ini ke tiang gantungan. Kekalahan inilah yang tak bisa diterima oleh Lord Blackwood yang pada hari kematiannya bersumpah akan membalas dendamnya pada Sherlock Holmes. Tak berapa lama kemudian, sebuah kasus kejahatan kembali mengharuskan Sherlock Holmes dan Dr John Watson turun tangan. Serangkaian tindak kejahatan ini dilakukan bukan oleh sembarang orang. Bila Sherlock dan Watson gagal, maka seluruh negeri Inggris yang jadi taruhannya. Sherlock menduga semua itu ada hubungannya dengan Lord Blackwood yang telah meninggal di tiang gantungan.

Ada beberapa kejadian yang cukup mewarnai syuting film ini yang kemudian menimbulkan berbagai prasangka kalau “Sherlock Holmes” adalah salah satu produksi yang ‘dikutuk’. Rangkaian kecelakaan sempat terjadi pada pembuatan film ini seperti salah satu kecelakaan dialami pemeran utama Robert Downey Jr. Ketika sedang melakoni sebuah adegan perkelahian, dagu bintang 'Iron Man' itu terkena bogem mentah. Pukulan itu membuat Robert sempat tidak sadarkan diri. Dan juga kecelakaan fatal sempat terjadi pada November 2008 lalu di lokasi syuting dimana sebuah truk tangki yang berisi bahan bakar meledak. Kobaran apinya cukup besar sehingga membuat lokasi itu sempat ditutup.

Meskipun begitu, dengan tampilnya Downey, Ritchie dan tampilan baru untuk seorang Sherlock Holmes, film ini sudah cukup menjanjikan sebagai sebuah tontonan yang memikat. Semoga saja kegagalan film2 yang mengangkat seting masa Victoria sebelumnya seperti “The League of Extraordinary Gentlemen,” “From Hell,” “Van Helsing,” and “Around The World In 80 Days,” tidak menular ke film ini.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme