Murderer: Film Thriller Aaron Kwok Yang Nanggung Abis

Dalam film ini, Aaron Kwok berperan sebagai seorang kepala inspektur kepolisian berumur 40 tahunan bernama Ling. Dia begitu dihormati di kesatuannya karena telah berhasil memecahkan beberapa kasus yang rumit, memiliki catatan kerja yang sempurna, dan segera akan dipromosikan untuk menjabat posisi yang lebih tinggi. Setiap orang melihat masa depan yang begitu cemerlang didepan Ling dan menjagokannya untuk menjabat posisi tertinggi di satuan kepolisian Hong Kong tersebut. Ling juga memiliki keluarga yang tidak kalah sempurna, seorang istri yang cantik dan setia, anak lelaki yang rupawan juga tentunya diiringi gaya hidup yang sangat menunjukkan kemapanannya.
Tapi pada suatu hari, kehidupannya yang terlihat begitu sempurna tiba-tiba berubah haluan menjadi kacau balau ketika dirinya ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah lokasi kejadian kriminal. Disana juga ada rekan kerjanya yang terluka sangat parah. Ketika Ling terbangun di rumah sakit, dia tidak mampu mengingat apapun yang terjadi pada saat dirinya diserang, yang diketahui oleh para rekannya adalah Ling dan partnernya saat itu sedang mengejar seorang pembunuh berantai yang menjadi incaran mereka sejak lama. Pembunuh ini menghabisi korbannya dengan menggunakan alat bor listrik, seperti yang telihat pada rekan Ling yang terluka, tubuhnya dipenuhi lubang2 mengerikan akibat alat tersebut.
Setelah diusut, semua bukti2 dari lokasi justru memberatkan posisi Ling yang langsung dijadikan tersangka utama. Para saksi mata mengklaim bila mereka tidak melihat siapapun memasuki blok apartemen dimana dua polisi itu diserang selain mereka berdua saja. Dua kejadian pembunuhan sebelumnya juga terjadi ditempat yang tidak jauh dari kediaman Ling dan pada saat dirinya libur kerja. Ling malah tidak bisa memberikan alibi yang kuat tentang dimana dia berada sesungguhnya pada saat kejadian itu berlangsung. Selain istrinya Hazel dan anak angkatnya Sonny, hanya rekan sesama detektif yang memiliki nama julukan Ghost yang masih mempercayai bila Ling tidak bersalah. Sedangkan semua orang yang tadinya begitu mendukung Ling berbalik menudingnya sebagai seorang penjahat yang paling busuk, media juga menyebarkan berita yang semakin memberatkannya dan membahayakan kesempatan promosinya.

Sama seperti alur cerita yang tadinya menunjukkan kehidupan Ling yang begitu menjanjikan dan akhirnya berubah menjadi sangat tidak menentu, begitulah kira2 perasaan yang timbul saat kita menyaksikan film “Murderer” ini. Style yang ditunjukkan pada bagian2 awal film terkesan agak kasar dan agresif, tapi irama yang rada kurang mulus itu tampaknya bisa termaafkan dengan cerita yang sepertinya dibangun menuju suatu plot yang menarik dan menjanjikan hal2 yang membangkitkan tensi ketegangan. Sutradara debutan Roy Chow (sebelumnya dikenal sebagai asistennya Ang Lee) menunjukkan kalau dia memiliki bakat dalam menyajikan adegan2 horor dan mengaduk isi perut lewat beberapa scene film ini. Tetapi, setelah ‘set-up’ yang sudah cukup baik dan penuh intrik tadi, sepertinya Roy sulit memutuskan kemana dia akan membawa kelanjutan cerita film ini. Banyak adegan flashback dan penampilan ulang peristiwa2 penting karena sang sutradara berusaha meyakinkan diri bila penonton tidak melewatkan satu hal penting sekalipun. Terdapat juga beberapa pertunjukan tanggung ketika karakter2 dalam film ini berulang kali dihentikan dari apa yang sedang mereka lalukan sekedar untuk memberikan kesempatan bagi pembahasan setiap hal yang berhubungan dengan cerita latar.

Penampilan Aaron Kwok yang dulu dikenal sebagai bintang manis idola remaja yang sekarang menjelma menjadi aktor watak itu juga bukanlah penampilan terbaiknya. Masih kalah jauh bila dibandingkan dengan performanya di “After This Our Exile” yang memenangkannya piala Golden Horse Award sebagai aktor terbaik, malah juga belum bisa menyaingi penampilannya di “The Detective.” Disini Kwok menyajikan performa ‘over PD’ yang justru berkembang menjadi sesuatu yang kurang menarik atensi penonton. Aktor2 lainnya yang tampil dalam film ini juga tidak bisa berbuat banyak dengan skrip yang membatasi ruang gerak mereka, hanya bisa memberikan akting yang standar2 saja.

Menuju penghujung film, penonton disuguhkan ‘twist ending’ layaknya film2 karya M. Night Shyamalan yang tampaknya adalah hal yang menggugah pihak Cineplex 21 untuk mengimpor film ini ke Indonesia. Twist yang ditampilkan disini cukup lumayan memang, cukup absurd dan menggelikan hingga harus disaksikan dengan mata kepala sendiri untuk bisa mempercayainya. So, bagi penggemar film dengan adegan berdarah2, mungkin film ini bisa menghibur anda tapi jangan harapkan sebuah film yang cukup kuat walau sebagai perbandingan untuk karya sekelas “Saw” sekalipun.

Angels & Demons: Misteri Di Balik Keindahan Kota Vatikan

Mungkin sudah agak kurang up-to-date bila menghadirkan review film lanjutan “DaVinci Code” yang kontroversial ini, tapi ga ada salahnya juga, toh filmnya baru mulai beredar dua bulan yang lalu. Oke, cerita “Angels & Demons” yang novelnya justru muncul lebih dulu dari “DaVinci Code” ini dimulai dari peristiwa meninggalnya Paus di Vatikan yang dibarengi oleh pencurian sebuah sumber energi antimateri berkekuatan ledak dahsyat dari sebuah badan riset di Genewa, CERN. Sementara itu, empat Kardinal yang tadinya dicalonkan untuk menjadi pengganti sang Paus pun malah diculik. Para penculik ini ini meninggalkan jejak2 yang berupa simbol2 kuno dan Profesor ahli simbologi Robert Langdon pun didatangkan oleh kepolisian Vatikan untuk menyelidikinya. Selidik punya selidik, akhirnya Langdon menemukan petunjuk bila ada sebuah organisasi tua yang sebelumnya diduga telah musnah yaitu Illuminati yang menjadi dalang dibalik semua peristiwa ini. Para pengikut Illuminati mengeluarkan ancaman untuk menghabisi keempat kardinal yang mereka culik dan juga menggunakan sumber energi antimateri untuk membumi hanguskan Vatikan. Dibantu oleh Vittoria Vetra, ilmuwan yang menjadi utusan CERN, juga kepolisian Vatikan, Langdon harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan para Kardinal dan menggagalkan misi bejat Illuminati.

Dalam film ini, aktor handal peraih Oscar Tom Hanks kembali melanjutkan duetnya dengan sutradara Ron Howard yang juga kelas Oscar itu dari film sebelumnya. Bila dibandingkan dengan “DaVinci Code”, nilai lebih film ini datang dari temponya yang lebih cepat dan makin banyaknya adegan aksi. Tapi dibalik semua itu pastinya juga ada konsekwensi yang harus dibayar oleh “Angels & Demons” yaitu kurangnya pengembangan karakter dan chemist yang dibangun antar para tokoh dalam film ini. Tom Hanks sebagai pemeran utama yang terlihat semakin lekat karakternya dengan Robert Langdon ini masih memberikan penampilan yang cukup maksimal meskipun bisa dibilang bukanlah permainan terbaiknya yang bisa menambah koleksi piala Oscar di lemari pajangnya. Sementara itu aktor asal Inggris Ewan McGregor memberikan performa yang lumayan memikat sebagai Patrick McKenna sang Camerlengo (Kepala Rumah Tangga Vatikan). Walau kemunculannya disini cukup terbatas, tapi aktor veteran Stelan Skarsgaard yang juga baru tampil lewat film musikal “Mamma Mia!” tahun lalu itu tetap tampil berkharisma sebagai pejabat Swiss Gaard, Komandan Richter. Dan sebagai pengganti Audrey Tatou juga untuk melanjutkan penampilan aktris internasional yang mengucapkan bahasa inggris dengan aksen unik mereka adalah Ayelet Zurer, bintang asal Israel yang menjadi pemanis film dengan perannya sebagai Vittoria Vetra.

Bagi para penonton yang mungkin belum pernah membaca versi novel “Angels & Demons” sepertinya bisa menikmati versi film ini tanpa gangguan berarti. Lain halnya bagi mereka yang justru adalah pendukung dan pemerhati setia novel karya Dan Brown ini, karena durasi film yang lumayan terbatas, sangat jelas bagi mereka bila banyak hal2 yang terlewatkan disini sehingga kurang bisa memaparkan detail yang muncul di versi tulis secara akurat dan sempurna. Layaknya “DaVinci Code”, Ron Howard kembali melakukan beberapa perubahan yang menyebabkan beberapa detail yang dituliskan Brown terpaksa tidak bisa dihadirkan dalam film ini.

Tetapi dibalik setiap kekurangan yang masih bermunculan di film kedua Langdon ini, “Angels & Demons” tetap menjadi film yang lumayan menghibur sebagai pengisi waktu tonton kita. Tensi ketegangan yang dihadirkan cukup bisa dijaga dengan baik sepanjang durasi film berlangsung. Misteri yang menjadi bumbu utama film ini berikut teknik Landon dalam menguraikannya dilatar belakangi oleh pemandangan kota Vatikan dan bangunan2 bersejarahnya yang bernilai seni tinggi itu dengan sangat indah. Mungkin lebih indah dari penggambaran kota Paris di film pertama dulu.




Harry Potter and the Half-Blood Prince: Salah Satu Seri HP Paling Menghibur

Cuma penggemar Potter yang terlampau kolot dengan versi literaturnya saja yang tidak bisa menikmati film terbaru Harry potter ini. Secara, film keenam dalam serial penyihir Hogwarts karya cipta J.K. Rowlings ini memiliki segalanya: sinematografi memukau, soundtrack yang brilian, penyutradaraan yang imajinatif, dan akting2 terbaik dari para pemerannya mulai dari bintang veteran hingga pemain belia yang telah kita perhatikan gerak geriknya dari awal mula serial ini mengisi jadwal tonton kita di sineplek. Semuanya benar2 dimanfaatkan dengan sangat baik dalam menghidupkan cerita kali ini dimana Dumbledore dan Harry berkonspirasi untuk menemukan rahasia Lord Voldemort sementara virus cinta juga sedang merajalela menghinggapi setiap darah muda yang bergejolak di Hogwarts.

Penataan set juga dikerjakan dengan sangat baik, begitu pula dengan efek spesial yang dirampungkan dengan matang hingga mampu menghadirkan bahasa gambar yang sangat memukau. Film ini juga menghadirkan adegan2 pengundang tawa yang lebih banyak dan menghibur, kebanyakan datang dari bakat humor Rupert “Wesley” Grint yang semakin terasah dengan baik, dibantu pula oleh penampilan Emma “Hermione” Watson yang menampilkan permainan emosi yang lebih beragam. Bonnie “Ginny Weasley” Wright dan Tom “Draco Malfoy” Felton juga diizinkan untuk mengembangkan karakter mereka dengan lebih dalam lagi disini, dimana Wright menawarkan sisi afeksi dan kekuatannya sementara Felton memberikan penampilan yang menawan dalam memunculkan sisi gelap Draco dengan sangat baik. Daniel Radcliffe sendiri menghadirkan performa akting yang semakin matang dan membangun chemistry yang semakin kuat dengan para pemain lainnya.

Para bintang veteran juga memunculkan performa yang tak kalah memikatnya, Michael Gambon tampak kian melekat dengan karakter Dumbledore-nya, karisma dan wibawanya sebagai kepala sekolah Hogwarts yang sangat dihormati itu kian terpancar dengan sempurna hingga akhir cerita episode keenam ini. Penampilan sempurna lainnya datang dari Helena Bonham Carter dalam perannya yang super sangar, Jim Broadbent sebagai Prof. Slughorn yang lucu namun menyimpan rahasia kelam tentang Voldemort, dan tentunya Alan Rickman yang semakin sempurna saja dibalik karakter Severus Snape-nya. Ada juga penampilan sedikit namun menarik dari dua penampil masa muda Voldemort yaitu Hero Fiennes-Tiffin sebagai sang tokoh jahat saat berusia 11 dan Frank Dillane saat berusia 16. Yang lebih menonjol disini tentunya performa Hero Fiennes-Tiffin yang dengan ekspresi dingin dan kakunya itu, dia bisa menampilkan sosok calon penjahat besar ini dengan mengagumkan.

Jarang sekali ditemukan adegan yang membosankan sepanjang dua jam setengah durasi film ini, karena bila sedang tidak diisi oleh ketegangan adegan permainan Quidditch atau pertarungan ilmu sihir khas Potter, kita disuguhkan berbagai scene pemancing tawa dari level jenaka sampai tingkat akut. “Half Blood Prince” memang sebuah cerita yang multi dimensi, ada komedi romantis, kisah detektif, cerita remaja mencari jati diri, sihir, horor menegangkan, politik, dan diatas segalanya adalah cerita cinta. Semua karangan J.K. Rowling memang sangat komplek tapi untuk kali ini sang sutradara David Yates berhasil menangkap setiap kompleksitas itu dan menyajikannya dengan penuh hiburan dari awal hingga akhir yang sebenarnya bisa dibilang kurang happy ending itu. Cerita yang semakin suram dan kelam di seri ke-enam inipun dijabarkan Yates dengan lebih banyak bermain dengan palet warna2 kelam dan kelabu.

Oke.. yang jelas “Half Blood Prince” ini adalah salah satu film Har-Pot paling menarik yang pernah gue saksikan selain jilid ketiganya yaitu “Prisoner of Azkaban.” Banyak adegan memorable yang memunculkan keinginan untuk menontonton film ini kembali. Dengan kata lain, “HP 6” berhasil mewujudkan keinginan penggemar filmnya, bahkan lebih. Bravo….




powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme